Unsur Hukum Lemah, Eks Wakapolri Soroti 'Motif Tertentu' di Balik Kasus Tom Lembong
Mantan Wakapolri Komjen (purn) Oegroseno mengungkapkan keyakinan bahwa unsur pemidanaan yang digunakan Kejaksaan Agung (Kejagung) terhadap eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, yang akrab disapa Tom Lembong, sangat lemah.
Oegroseno menilai bahwa masyarakat berhak menganggap kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi, titipan, atau usaha untuk mencari muka terhadap rezim baru yang sedang berkuasa.
"Ketika seseorang dijadikan tersangka, seharusnya dia tidak diperiksa sebagai saksi terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan harapan untuk mendapatkan pengakuan, padahal pengakuan bukanlah alat bukti yang diatur dalam KUHAP Pasal 184," jelas Oegroseno saat dihubungi pada Senin (4/11/2024).
Oegroseno menduga bahwa proses hukum terhadap Tom Lembong akan berlangsung lambat, dengan kemungkinan bahwa Lembong baru akan diproses setelah semua saksi memberikan keterangan dan berkas perkara dinyatakan lengkap.
"Menetapkan seseorang sebagai tersangka, sementara dia juga diminta untuk memberikan keterangan sebagai saksi, adalah hal yang sangat aneh," tambahnya.
Ia juga menyoroti bahwa Kejagung seharusnya memiliki badan intelijen yang mampu menangani situasi ketika gula impor ilegal masuk ke Indonesia, jika memang ada indikasi korupsi yang jelas.
"Konstruksi hukum yang dibangun Kejagung menunjukkan kurangnya koordinasi antarinstansi. Seharusnya, ketika gula tiba di pelabuhan, tindakan langsung diambil, bukan ditunggu bertahun-tahun sebelum diperiksa," kritik Oegroseno.
Dia juga mempertanyakan klaim adanya kerugian negara akibat pengadaan gula melalui impor, karena transaksi tersebut tidak menggunakan anggaran pemerintah, baik APBN maupun APBD.
"Rp 400 miliar itu adalah uang milik individu, bukan uang negara. Oleh karena itu, membuktikan aliran uang tersebut patut dipertanyakan," ungkap Oegroseno.
Purnawirawan jenderal bintang tiga ini juga mencatat bahwa fenomena politik saat ini menjadikan hukum sebagai alat untuk menyerang lawan politik, sehingga mereka dikriminalisasi untuk menghalangi oposisi.
Selain itu, ia mengonfirmasi adanya pihak-pihak yang berusaha mencari muka untuk meningkatkan peluang mereka mendapatkan posisi strategis, seperti kursi Jaksa Agung pada rezim baru.
"Ada kemungkinan bahwa ini merupakan persaingan ketat untuk menentukan siapa yang akan menjadi Jaksa Agung. Salah satu cara untuk menunjukkan prestasi adalah dengan cara yang tidak sehat, seperti ini," tuturnya.
Dia mengingatkan bahwa Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah dan jajaran lainnya seharusnya menjaga integritas institusi Kejaksaan Agung sebagai lembaga, bukan berpikir sebagai individu.
"Jika Jampidsus dan jam lainnya berpikir untuk meningkatkan citra Jaksa Agung, mereka seharusnya tidak bersaing dengan cara yang tidak profesional seperti ini," pungkas Oegroseno.(*)