Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, angkat bicara mengenai penetapan Mantan Menteri Perdagangan RI, Thomas Trikasih Lembong, atau yang lebih dikenal sebagai Tom Lembong, sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Ia mengaku terkejut mendengar berita tersebut.
“Enggak ada angin enggak ada hujan tiba-tiba ada Tom Lembong, kita juga terkejut itu,” ungkap Paloh di Istana Negara, Jakarta, pada Jumat (1/11).
Paloh merasa prihatin atas kasus yang menimpa Tom Lembong, yang merupakan Co-Captain dari pasangan AMIN (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) saat Pilpres lalu.
Dia menilai bahwa pengungkapan kasus Tom Lembong ini terasa tidak tepat waktu, mengingat sudah cukup lama berlalu.
Ia juga menyebutkan beberapa kasus lain yang menurutnya lebih mendesak dan perlu mendapat perhatian, seperti kasus suap terhadap tiga hakim yang terkait dengan Ronald Tannur, serta penemuan uang hampir Rp 1 triliun di kediaman eks pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar.
“Saya pikir begitu banyak masalah yang harus kita selesaikan, prioritas utama tentu kita harapkan kasus-kasus yang cukup aktual yang memang perlu kita apresiasi,” ujar Paloh.
Meskipun demikian, Paloh berharap tidak ada unsur politis yang mendasari kasus Tom Lembong tersebut.
“Mudah-mudahan tidak ada (politisasi), kalau ada ya apes aja,” tutupnya.
Kasus Impor Gula yang Menyeret Tom Lembong
Dalam perkembangan yang sama, Kejaksaan Agung juga menetapkan tersangka lainnya yang terlibat dalam kasus ini, yakni Charles Sitorus, yang menjabat sebagai Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI pada periode 2015–2016.
Berdasarkan hasil rapat koordinasi antar kementerian pada 2015, telah disimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula, sehingga tidak memerlukan impor gula.
Namun, pada tahun yang sama, Thomas Lembong diduga mengizinkan persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105 ribu ton kepada perusahaan PT AP.
Gula kristal mentah tersebut kemudian diolah menjadi gula kristal putih, padahal yang berhak mengimpor gula kristal putih adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bukan perusahaan swasta.
Izin tersebut dikeluarkan tanpa adanya rapat koordinasi dengan instansi terkait.
Selanjutnya, pada 28 Desember 2015, diadakan rapat koordinasi di Kementerian Bidang Perekonomian yang dihadiri oleh kementerian di bawah Kemenko Perekonomian.
Salah satu pembahasan dalam rapat tersebut adalah kekurangan gula kristal di Indonesia yang diperkirakan mencapai 200 ribu ton pada 2016 untuk stabilisasi harga dan pemenuhan stok gula nasional.
Pada November-Desember 2015, Charles Sitorus memerintahkan staf senior manajer bahan pokok PT PPI untuk melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula, yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI.
Delapan perusahaan tersebut sebenarnya hanya memiliki izin industri sebagai produsen gula kristal rafinasi yang diperuntukkan untuk industri makanan, minuman, dan farmasi.
Setelah delapan perusahaan tersebut mengimpor gula mentah dan mengolahnya menjadi gula kristal putih, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut, padahal gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta ke pasaran.
Harga jualnya mencapai Rp 16 ribu, jauh lebih tinggi dibandingkan Harga Eceran Tertinggi (HET) saat itu yang hanya Rp 13 ribu.
Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).(*)