Sinyal Militerisme dalam Pemerintahan Prabowo-Gibran Dinilai Muncul, Peneliti Imparsial: "Demokrasi Indonesia Terancam"
Agenda pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming yang dilaksanakan di Akademi Militer (Akmil) baru-baru ini memunculkan kekhawatiran terkait potensi kembalinya militerisme dalam sistem demokrasi Indonesia, yang mengingatkan pada masa Orde Baru.
Peneliti senior Imparsial, Bhatara Ibnu Reza, menilai hal ini sebagai sinyal awal kebangkitan militerisme di Indonesia, yang sejalan dengan adanya rencana revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Bhatara menyoroti bahwa revisi tersebut dikhawatirkan akan mengembalikan dwifungsi TNI, sebuah konsep yang sebelumnya membolehkan militer berperan dalam urusan sipil maupun militer.
"Nanti kita akan lihat dari produk kebijakan dan undang-undang yang disusun. Revisi UU TNI ini sudah memunculkan kecurigaan publik akan kembalinya dwifungsi militer," ujar Bhatara, Jumat (8/11/2024).
Ia menambahkan bahwa pemerintahan saat ini menunjukkan tanda-tanda potensi kemunduran demokrasi. Jika perkembangan ini terus berlanjut, Bhatara memperingatkan bahwa sistem demokrasi Indonesia terancam mati. Ia mengingatkan bahwa bukan hanya militerisme yang mungkin bangkit kembali, tetapi juga praktik-praktik otoriter dan pembatasan kritik terhadap pemerintah yang pernah menjadi ciri khas era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
Bhatara, yang juga merupakan dosen Ilmu Hukum di Universitas Trisakti, menyatakan bahwa demokrasi hanya dapat bertahan dengan adanya kritik dan pengawasan terhadap pemerintah. Menurutnya, peran militer dalam demokrasi seharusnya tunduk pada keputusan rakyat, bukan menjadi alat untuk kepentingan kekuasaan.
"Militer dalam demokrasi harus tunduk pada keputusan rakyat. Namun, apabila keputusan rakyat justru dimanfaatkan untuk mengembalikan militerisme, ini bisa memicu pergolakan politik," katanya.
Bhatara mengingatkan peristiwa reformasi pada tahun 1998 yang berhasil menjatuhkan Orde Baru sebagai bentuk perlawanan politik terhadap militerisme. Salah satu tujuan utama dari reformasi itu adalah untuk menghilangkan dwifungsi militer, menjadikan militer hanya sebagai alat pertahanan negara, bukan sebagai alat kekuasaan.
Namun, ia melihat ada indikasi kembalinya praktik dwifungsi militer dalam pemerintahan saat ini, terutama dengan gaya kepemimpinan yang ditunjukkan Prabowo maupun Gibran. Bhatara menegaskan pentingnya menunggu perkembangan selama 100 hari pemerintahan baru ini untuk melihat arah kebijakan dan kebebasan berdemokrasi di Indonesia.
"Kita akan melihat, apakah pemerintahan ini benar-benar bisa disebut demokratis. Jika kritik dibungkam, hukum dikekang, dan hak asasi manusia dinafikan, maka pemerintahan ini akan jauh dari cita-cita reformasi," pungkasnya.(*)