Said Didu mengangkat sejumlah kejanggalan terkait penetapan tersangka pada mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, oleh Kejaksaan Agung.
Menurutnya, kasus ini sarat akan ketidaksesuaian prosedur yang mencerminkan potensi tebang pilih dalam sistem hukum.
Said Didu berharap bahwa keadilan harus ditegakkan di era pemerintahan Prabowo.
Ia menekankan bahwa dalam kasus impor komoditas pertanian, termasuk gula, prosesnya biasanya melalui koordinasi antar kementerian terkait.
Namun, dalam kasus Tom Lembong, ditemukan beberapa kejanggalan yang menjadi fokus kritiknya.
Pertama, ia mempertanyakan penetapan tersangka dari enam menteri perdagangan di bawah pemerintahan Jokowi yang menetapkan kebijakan yang sama, namun hanya Tom Lembong yang dipersoalkan.
Kejanggalan ini semakin mencuat karena mulai adanya penyelidikan Tom Lembong bertepatan dengan keterlibatannya sebagai ketua tim Anies, yang berseberangan dengan tim politik Zulkifli Hasan, Menteri Perdagangan saat penggeledahan terjadi.
“Kejanggalan lainnya adalah bahwa pemeriksaan ini bertepatan dengan aktivitas Tom Lembong sebagai kapten tim Anies, yang berlangsung pada Oktober 2023,” ujar Said Didu, dilansir dari YouTube pribadinya.
“Menariknya, penggeledahan pada akhir 2023 dilakukan saat Menteri Perdagangan dijabat oleh Zulkifli Hasan, yang kita tahu memiliki posisi politik yang berseberangan dengan Tom Lembong, yaitu tim Anies dan tim Prabowo-Gibran,” lanjutnya.
Said Didu juga menyoroti alasan hukum yang dipakai dalam penetapan tersangka.
Menurutnya, alasan surplus saat impor merupakan kekeliruan karena data menunjukkan bahwa selama Lembong menjabat, Indonesia tidak mengalami surplus komoditas gula.
“Pada tahun 2016, impor gula tercatat sebesar 2,88 juta ton, dan pada tahun 2017 sebesar 4,75 juta ton,” ungkap Said Didu.
“Nah, harus diingat bahwa impor biasanya lebih rendah dari kuota, di mana kuota tersebut mencerminkan kekurangan produksi. Jadi, sangat salah jika dikatakan bahwa pada tahun tersebut ada surplus saat melakukan impor,” jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa impor tidak wajib melalui rapat koordinasi, yang hanya diperlukan saat menetapkan kuota.
“Dia menyatakan bahwa impor tersebut tidak melalui rapat koordinasi. Ini sangat menarik, karena rapat koordinasi sebenarnya hanya dilakukan saat menetapkan kuota impor. Jumlah impor yang akan dilakukan ditentukan oleh Kementerian Perdagangan,” lugas Said Didu.
“Kapan mau diimpor, siapa yang mengimpor, dan bentuk impornya adalah kewenangan penuh Menteri Perdagangan. Tidak dibutuhkan lagi rapat koordinasi,” tambahnya.
Ketiga, Said Didu menyoroti pernyataan bahwa impor hanya boleh dilakukan oleh BUMN.
Padahal, peraturan saat itu memperbolehkan swasta mengimpor gula rafinasi.
“Tidak ada istilah bahwa impor hanya dilakukan oleh BUMN. Yang disampaikan adalah bahwa impor dilakukan oleh industri yang akan mengolah, karena ada dua jenis impor gula: impor gula rafinasi (gula putih balok batangan) dan gula konsumsi,” beber Said Didu.
Said Didu juga mempertanyakan dugaan potensi kerugian negara dalam kasus ini, mengingat keputusan Mahkamah Konstitusi yang melarang penggunaan pasal terkait potensi kerugian.
“Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2016 menyatakan bahwa tidak boleh lagi digunakan pasal yang menyebutkan potensi kerugian negara,” katanya.
“Selain itu, yang menentukan besarnya kerugian negara adalah BPK, bukan KPK atau Kejaksaan Agung. Jaksa tidak boleh menentukan kerugian negara,” tegas Said Didu.
Ia mengungkapkan bahwa keempat alasandi atas merupakan kejanggalan penetapan tersangka terhadap Tom Lembong menunjukkan ketidaktepatan dan mengindikasikan motif politik.
Said Didu mengajak pemerintahan Prabowo agar serius dalam menegakkan hukum tanpa tebang pilih, seperti yang sering ditegaskan Prabowo.
“Saya berharap Presiden Prabowo benar-benar menegakkan hukum sebagaimana yang selalu ia katakan, bahwa ia rela mati untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Itulah harapan saya, agar hukum ditegakkan di rezim Prabowo tanpa tebang pilih,” harap Said Didu.(*)