Sejak pelantikannya sebagai Presiden, Prabowo Subianto kini berada di bawah sorotan publik untuk merealisasikan janji-janji populisnya dalam bentuk kebijakan yang konkret.
Pengamat politik Eep Saefulloh menyoroti tantangan yang dihadapi Prabowo, yaitu menggabungkan retorika populis yang ia usung dengan pendekatan teknokratis dalam pemerintahan.
Dalam pandangan Eep Saefulloh, menjadi presiden membutuhkan lebih dari sekadar popularitas; Prabowo dituntut untuk merencanakan, menghitung, dan mempertimbangkan setiap kebijakan secara matang agar dapat membawa dampak nyata bagi masyarakat.
Eep menyinggung kembali masa pemerintahan Jokowi yang menurutnya terlalu banyak blusukan seperti berkampanye sepanjang 10 masa jabatan.
“Saya berpendapat bahwa salah satu kelemahan Presiden Jokowi yang saya saksikan sepanjang 10 tahun adalah berkampanye tanpa henti, ada atau tidak ada pemilu,” ujarnya dilansir dari youtube Keep Talking.
Eep menggarisbawahi perbedaan antara berkampanye dan memerintah. Saat kampanye, seorang pemimpin cenderung menggunakan bahasa yang bersifat menginspirasi dan idealis, namun saat memimpin, tuntutan teknis dan detail kebijakan menjadi prioritas.
Eep menganalogikan perbedaan ini dengan proses "menulis puisi" saat kampanye dan "menulis prosa" dalam pemerintahan.
Saat berkampanye, retorika bisa indah dan menggebu-gebu, tetapi saat memerintah, segala sesuatunya harus diatur dalam struktur yang rapi dan mendalam, dengan strategi yang terarah.
Menurut Eep, hal ini berbeda dari pendekatan yang diambil oleh Presiden Jokowi selama masa kepemimpinannya, yang sering kali tampil di depan publik melalui aksi-aksi populis.
Selama sepuluh tahun pemerintahannya, Jokowi kerap terlibat langsung dalam kegiatan pembagian sembako atau memberi bantuan di tengah masyarakat.
Meski langkah ini mendapat sambutan hangat dari rakyat, Eep menilai hal tersebut lebih mirip strategi kampanye ketimbang kebijakan berbasis teknokratis.
Prabowo kini dihadapkan pada ekspektasi publik yang tinggi untuk menjembatani retorika populis dengan kebijakan nyata yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam hal ini, ia tidak hanya dituntut untuk memenuhi janji, tetapi juga untuk mengurangi jarak antara retorika dan kenyataan.
Jika Prabowo berhasil dalam upaya ini, masyarakat akan merasakan dampak langsung dari pemerintahannya.
Namun, jika retorika populis yang ia sampaikan tak dibarengi dengan kebijakan yang matang, kekecewaan publik mungkin tak terelakkan.
Sebagai presiden, Prabowo dihadapkan pada pilihan besar: mengutamakan aksi nyata yang memperkuat kepercayaan publik atau hanya mengandalkan retorika populis.
“Jadi, Prabowo Subianto berhadapan dengan tantangan yang sungguh luar biasa. Retorika populisnya harus dibuktikan dengan hitungan teknokratisnya,” tegas Eep Saefulloh.(*)