Pakar Hukum Soroti Kejanggalan dalam Putusan Kasus Mardani H Maming
Jakarta — Putusan Peninjauan Kembali (PK) atas perkara Mardani H Maming yang baru saja keluar dari Mahkamah Agung (MA) masih jauh dari kata ideal, menurut sejumlah pakar hukum. Mereka menilai bahwa Mardani, yang diadili dalam kasus dugaan korupsi, bukanlah seorang koruptor.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva, mengatakan bahwa putusan ini tidak ideal karena terdapat sejumlah kesalahan dalam penerapan hukum yang terjadi pada tingkat pertama hingga kasasi. Hamdan mencatat ada tiga pertentangan utama dalam putusan tersebut.
"Di antaranya terkait kesalahan penerapan hukum, yaitu ketentuan Pasal 93 UU No. 4/2009 tentang Minerba yang dikonstruksikan dalam dakwaan dan tuntutan, yang sebenarnya tidak dapat diterapkan dalam perkara ini," ujar Hamdan melalui keterangan resmi.
Ia juga menjelaskan bahwa dalam hukum administrasi negara, terdapat asas "het vermoeden van rechtmatigheid" atau praduga sahnya sebuah keputusan. Artinya, setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat administrasi negara dianggap sah sampai dibuktikan sebaliknya melalui upaya administratif atau peradilan tata usaha negara.
Hamdan lebih lanjut mengkritik kekhilafan dalam delik suap, di mana tidak ada bukti yang menunjukkan adanya "meeting of mind" atau kesepakatan antara pihak pemberi dan penerima (Mardani H Maming) dalam unsur "menerima hadiah" yang diatur dalam Pasal 12 huruf b UU Tipikor. Menurutnya, suap tidak dapat terjadi tanpa adanya kesamaan kehendak antara pihak-pihak yang terlibat.
Terkait dengan pertentangan antara putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Pengadilan Niaga, Hamdan menilai bahwa hal ini semakin memperburuk kualitas putusan. Dalam putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Mardani H Maming dinyatakan terbukti menerima "hadiah" berupa dividen dan fee. Namun, menurut putusan Pengadilan Niaga, pemberian uang oleh PT. PCN terjadi karena hubungan bisnis, bukan karena suap.
"Pertentangan putusan ini seharusnya menjadi dasar kuat untuk membatalkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Mengaitkan dua peristiwa dengan latar belakang yang berbeda adalah sesat logika," tegas Hamdan.
Selain itu, Hamdan mengingatkan adanya indikasi pelanggaran terhadap prinsip imparsialitas dalam proses pengadilan. Ia menyebut bahwa pertimbangan majelis hakim hanya didasarkan pada keterangan satu saksi, yang melanggar asas "unus testis nullus testis". Fakta-fakta dalam perkara ini, menurutnya, tampak dipaksakan menjadi bukti yang mendukung tuduhan, meskipun tidak konsisten satu sama lain.
Senada dengan Hamdan, Guru Besar Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Hanafi Amrani, juga menilai adanya kesalahan penerapan hukum dalam kasus Mardani H Maming. Prof. Hanafi berpendapat bahwa pertimbangan hakim tersebut tidak bisa diterima dan tidak dapat dibuktikan di pengadilan.
Sementara itu, pakar hukum lainnya, Prof. Dr. Todung Mulya Lubis, mengkritik keras sikap hakim dalam kasus ini. Menurut Todung, hakim dalam kasus ini tampaknya terperangkap oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan dalam kasus tersebut.
"Menurut saya, dalam kasus ini, hakim sudah seperti terperangkap," ujar Todung. Ia menilai bahwa keputusan hakim hanya mempertimbangkan kesaksian yang tidak sah, sementara kesaksian lain yang berbeda diabaikan begitu saja.
Sejumlah pakar hukum ini sepakat bahwa kejanggalan-kejanggalan dalam proses hukum ini perlu mendapatkan perhatian serius, terutama terkait dengan prinsip keadilan yang harus dijunjung tinggi dalam setiap keputusan pengadilan.(*)