Pakar Hukum UI Nilai Pernyataan Wakil Ketua KPK Soal Gratifikasi Kaesang Pangarep Keliru
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Gandjar Laksmana Bondan, menilai pernyataan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron terkait ketidakmampuan KPK menetapkan penerimaan fasilitas jet pribadi oleh Kaesang Pangarep sebagai gratifikasi adalah keliru dan menyesatkan.
Menurut Gandjar, KPK seharusnya mengoreksi keputusannya dengan membuka penyelidikan atas dugaan gratifikasi ini. "Bukan cuma keliru menurut saya, malah jadi menyesatkan," ujar Gandjar setelah memberikan materi pada agenda matrikulasi hukum tindak pidana korupsi di KPK, Jakarta, Rabu (6/11).
Gandjar menjelaskan bahwa istilah gratifikasi pertama kali dimuat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Namun, larangan menerima gratifikasi sudah ada sejak lama, bahkan sejak era Presiden Soeharto. Menurutnya, penerima gratifikasi tidak harus pejabat itu sendiri.
“Dalam konteks gratifikasi, penerimanya tidak harus pejabatnya langsung. Bisa melalui perantara atau orang dekat, termasuk keluarga inti,” jelas Gandjar.
Berdasarkan hal tersebut, Gandjar menegaskan bahwa larangan pejabat menerima gratifikasi, suap, dan sejenisnya juga berlaku bagi keluarga inti. Dalam kasus dugaan gratifikasi yang melibatkan Kaesang, ia menyebut bahwa yang seharusnya disasar oleh penegak hukum adalah Joko Widodo, Presiden RI saat itu, yang merupakan ayah Kaesang.
“Kita punya yurisprudensi terkait pasal suap yang mencakup pemberi maupun penerima, baik itu diterima langsung oleh pejabat maupun melalui orang terdekat atau keluarga. Jadi yang diminta pertanggungjawaban hukumnya adalah pejabatnya,” terang Gandjar.
Gandjar, yang terlibat dalam tim perumus Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, menjelaskan bahwa dalam hukum pidana tidak ada pengecualian terkait status keluarga yang sudah pisah kartu keluarga. Hal ini membantah klaim Nurul Ghufron yang menyatakan KPK tidak bisa melanjutkan pemeriksaan terhadap Kaesang karena ia sudah pisah kartu keluarga dengan pejabat terkait.
“Pisah kartu keluarga ini saya tidak tahu siapa yang mengajarkan, siapa yang memulai, ini menyesatkan,” ujar Gandjar. Ia menekankan bahwa yang menjadi kata kunci adalah hubungan keluarga inti, yang secara hukum membuat keluarga inti pejabat juga terkena larangan serupa. Namun, pertanggungjawaban hukum tetap akan dibebankan kepada pejabatnya, bukan keluarganya.
Sebelumnya, KPK melalui Nurul Ghufron menyatakan tidak bisa menetapkan penerimaan fasilitas jet pribadi oleh Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep sebagai gratifikasi. Keputusan tersebut menimbulkan polemik dan kritik dari berbagai pihak karena dinilai keluar tanpa adanya klarifikasi kepada pelapor, yakni dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubaidilah Badrun, dan Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman.(*)