Perbuatan yang menjerat mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong sebagai tersangka korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) dikatakan tidak memerlukan bukti-bukti terkait adanya penerimaan uang untuk memperkaya diri sendiri.
Kejaksaan Agung (Kejakgung) menegaskan sangkaan terhadap Tom terkait penyalahgunaan kewenangan dan jabatan dalam penerbitan izin impor gula kristal mentah (GKM) untuk diolah menjadi gula kristal putih (GKP).
Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menjerat Tom dengan sangkaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Direktur Penyidik Jampidsus Abdul Qohar menjelaskan bahwa untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka dalam kasus korupsi, tidak diharuskan adanya bukti aliran dana yang diterima dari dugaan penyalahgunaan kewenangan.
“Untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka ini (korupsi), tidak mengharuskan seseorang itu mendapatkan aliran dana,” kata Qohar di Kejakgung, Jakarta, Jumat (1/11/2024) lalu.
Ia menambahkan bahwa Pasal 2 dan Pasal 3 yang menjerat Tom tidak memerlukan pembuktian tentang aliran dana untuk memperkaya diri dari perbuatan korupsinya. “Pasal 2 menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara dapat dikenakan sanksi,” ungkap Qohar.
Terkait dengan perbuatan Tom dalam menerbitkan izin impor gula, Qohar menyatakan bahwa kebijakan tersebut dianggap menyalahgunakan kewenangan dan jabatan yang memperkaya pihak lain atau korporasi. “Akibat perbuatan melawan hukum itu, dia (Tom) bisa dimintai pertanggungjawaban pidana,” kata Qohar.
Penyidikan saat ini tidak hanya mengarah ke Tom yang menjabat sebagai Mendag pada periode 2015-2016, tetapi juga akan menyasar pejabat atau Mendag setelah Tom. Qohar menjelaskan bahwa kebijakan impor gula yang menyalahgunakan kewenangan juga terjadi pada periode selanjutnya, yaitu pada tahun 2017.
“Kita fokus saat ini pada periode 2015-2016. Namun, kami akan menyelidiki periode selanjutnya, karena pada 2017 juga ada kebijakan penerbitan izin impor gula,” ujar Qohar.
Tim penyidikan juga akan mendalami peran perusahaan-perusahaan yang mendapatkan kuota impor gula tetapi tidak sesuai dengan klasifikasinya sebagai importir gula yang diharuskan oleh perundangan.
Tom Lembong bersama inisial Charles Sitorus (CS) dijerat sebagai tersangka berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor 31/1999-20/2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Saat ini, Tom Lembong ditahan di sel tahanan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel), sementara tersangka CS ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Kejakgung di kawasan Blok-M, Jakarta Selatan.
Kedua tersangka ditahan selama 20 hari untuk mempercepat proses penyidikan. Terkait kasus yang menjerat Tom dan CS, Qohar menjelaskan bahwa pada Mei 2015 dilakukan rapat koordinasi antar lembaga dan kementerian perekonomian yang menyatakan bahwa Indonesia mengalami surplus gula.
“Sehingga hasil rakor tersebut, diputuskan pemerintah tidak perlu atau tidak membutuhkan impor gula,” kata Qohar. Namun, keputusan tersebut disimpangi, dan Tom sebagai Menteri Perdagangan menerbitkan izin persetujuan impor GKM sebanyak 105 ribu ton kepada PT Angels Product (AP).
Penerbitan izin impor untuk PT AP tersebut, dikatakan melanggar Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian 527/2004. Berdasarkan aturan itu, hanya BUMN yang dibolehkan mengimpor GKM.
Selanjutnya, pada Desember 2015, terdapat rapat koordinasi bidang perekonomian yang juga dihadiri Tom. Salah satu hasil dari rakor tersebut menyatakan bahwa pada 2016, Indonesia kekurangan GKP untuk konsumsi sebanyak 200 ribu ton.
Kebutuhan tersebut diperlukan untuk menjaga stabilitas harga gula di pasaran. Dalam prosesnya, tersangka CS selaku direktur pengembangan bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) memerintahkan staf senior manajer bahan pokok PT PPI untuk melakukan pertemuan dengan perusahaan-perusahaan gula swasta.
“Yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI di Gedung Equity Tower SCBD,” ungkap Qohar. Pertemuan tersebut dilakukan sebanyak empat kali untuk membahas kerja sama impor GKM menjadi GKP.
Pada Januari 2016, Tom menandatangani surat penugasan kepada PT PPI untuk melakukan pemenuhan stok gula nasional. Hal ini dilakukan melalui kerja sama PT PPI dengan produsen gula dalam negeri, dalam memasok dan mengolah GKM impor menjadi GKP sebanyak 300 ribu ton.
“Dari hal tersebut, PT PPI membuat perjanjian kerja sama dengan delapan perusahaan gula swasta tersebut,” kata Qohar.
Meskipun dalam pemenuhan stok gula nasional, hanya BUMN yang seharusnya melakukan impor GKM untuk dikelola menjadi GKP, Tom menerbitkan persetujuan impor GKM untuk sembilan perusahaan swasta tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.
Dari penyidikan juga diketahui bahwa delapan perusahaan yang melakukan impor GKM untuk dikelola menjadi GKP hanya memiliki izin sebagai produsen gula kristal rafinasi (GKR). Komoditas rafinasi tersebut hanya diperuntukkan untuk kebutuhan industri makanan, minuman, dan farmasi.
Setelah swasta tersebut mengimpor GKM dan mengelolanya menjadi GKP, PT PPI melakukan aksi korporasi yang seolah-olah membeli gula tersebut. Namun, gula tersebut dijual oleh perusahaan-perusahaan itu ke masyarakat melalui distributor dengan harga yang tidak sesuai ketentuan.
Harga GKP untuk konsumsi dilepas ke pasar dengan harga Rp 16 ribu per kg, padahal harga eceran tertinggi (HET) untuk GKP adalah Rp 13 ribu per kg. Dari pengadaan dan penjualan GKM yang diolah menjadi GKP, PT PPI mendapatkan fee sebesar Rp 105 per kg dari delapan perusahaan tersebut.
Hasil sementara menunjukkan bahwa rangkaian kegiatan tersebut merugikan keuangan negara sebesar Rp 400 miliar.(*)