Pemerintah Dinilai Tak Adil dengan Kenaikan PPN dan Program Tax Amnesty Jilid 3
Tahun depan, beban hidup masyarakat menengah ke bawah diprediksi semakin berat akibat kenaikan harga barang yang dipicu oleh kebijakan pemerintah. Salah satu kebijakan yang dinilai memberatkan adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang diumumkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani.
Di sisi lain, Sri Mulyani juga membuka kembali program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid 3, yang menurut kritik berbagai pihak, justru menguntungkan kelompok kaya. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyatakan sangat terkejut dengan keputusan tersebut.
"Tax amnesty ini kebijakan blunder untuk menaikkan penerimaan pajak. Rasio pajak sudah terbukti tidak meningkat pasca tax amnesty jilid I dan II. Apa pengaruhnya? Jelas tidak ada," kata Bhima.
Bhima menambahkan bahwa dengan berulangnya program tax amnesty, kepatuhan wajib pajak, terutama dari kalangan pengusaha besar dan korporasi, justru semakin kendor. Ia berpendapat bahwa pengemplang pajak berasumsi akan ada program serupa di masa mendatang setelah jilid 3 selesai.
Lebih lanjut, Bhima mengungkapkan potensi moral hazard yang besar dalam pelaksanaan tax amnesty. Ia juga mempertanyakan logika pemerintah yang seharusnya fokus pada pencocokan data aset dari program tax amnesty sebelumnya, bukan membuka kesempatan baru bagi wajib pajak untuk menghindari kewajibannya.
"Saya gagal paham dengan logika pajak pemerintah. Pengusaha sudah menikmati penurunan tarif PPh badan. Tahun depan, tarif PPh badan turun dari 22 persen menjadi 20 persen," ujarnya.
Selain itu, Bhima menilai kebijakan kenaikan PPN yang berlaku mulai 1 Januari 2025 akan semakin melemahkan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah. Kenaikan PPN, ditambah dengan biaya produksi yang meningkat, berpotensi menyebabkan pemutusan hubungan kerja massal di sektor ritel dan industri pengolahan.
"PPN 12 persen ini jelas menyengsarakan kelompok miskin. Lalu, di mana letak keadilan pajaknya?" pungkas Bhima.
Rencana pemberlakuan tax amnesty jilid 3 terungkap dalam Rapat Panja Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas 2025 yang diadakan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR pada Senin (18/11/2024). Dalam rapat tersebut, pemerintah dan DPR sepakat untuk memasukkan RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dalam daftar usulan Prolegnas RUU Prioritas 2025.
Program tax amnesty jilid 3 diprioritaskan pada urutan ke-14 dalam draf usulan tersebut. Sri Mulyani mengungkapkan bahwa kenaikan PPN 12 persen tetap berlaku sesuai dengan mandat UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
"Ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, kami tetap memperhatikan sektor-sektor lain, seperti kesehatan dan makanan pokok," jelas Sri Mulyani.(*)