Kejagung Masih Dalami Sosok 'R' dalam Kasus Suap Vonis Bebas Ronald Tannur
Kejaksaan Agung (Kejagung) memberikan klarifikasi terkait sosok 'R' yang disebut oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rudi Suparmono, dalam kasus suap vonis bebas Ronald Tannur. Kejagung mengungkapkan bahwa pihaknya masih mendalami identitas sebenarnya dari sosok 'R' tersebut.
"Iya itu yang sedang dilakukan pengecekan oleh penyidik (termasuk betul tidaknya R adalah Rudi Suparmono)," kata Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, di kantor Kejagung, Jakarta, Selasa (12/11/2024).
Harli menjelaskan bahwa penyidik tidak akan berspekulasi dalam mengungkap siapa sosok 'R'. Jika identitas 'R' sudah diketahui, penyidik akan melakukan kajian lebih lanjut, salah satunya untuk memutuskan apakah yang bersangkutan perlu diperiksa.
"Sekarang sedang dipelajari percakapan-percakapan yang ada di barang bukti elektronik untuk memastikan siapa sesungguhnya 'R', jangan sampai salah," ungkapnya.
Kasus ini bermula dari penetapan ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja (MW), sebagai tersangka dalam dugaan suap atau gratifikasi terkait vonis bebas dalam kasus penganiayaan berat yang menjerat putranya. Awalnya, Meirizka meminta pengacara Lisa Rahmat, yang juga sudah menjadi tersangka, untuk menjadi penasihat hukum bagi putranya. Lisa Rahmat kemudian bersedia untuk membantu pengurusan perkara tersebut.
Dalam perjalanan kasus, Lisa Rahmat meminta bantuan tersangka Zarof Ricar (ZR) untuk memperkenalkan dia kepada 'R', yang diduga merupakan pejabat di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, guna memilih majelis hakim yang akan menangani perkara Ronald Tannur.
Selama proses perkara berlangsung, Meirizka telah menyerahkan sejumlah uang kepada Lisa Rahmat, dengan total mencapai Rp3,5 miliar. Sebagian uang tersebut diserahkan kepada majelis hakim PN Surabaya yang menangani perkara vonis Ronald Tannur, yakni ED (Erintuah Damanik), HH (Heru Hanindyo), dan M (Mangapul), yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap.
Atas perbuatannya, tersangka Meirizka Widjaja disangkakan dengan Pasal 5 ayat 1 atau Pasal 6 ayat 1 huruf A dan Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.(*)