Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka Sorotan Usai Tidak Memberikan Sambutan di Pembukaan MTQ
Penulis: Ali Syarief
Pembukaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, baru-baru ini mendapat sorotan tajam terkait kehadiran Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang tidak memberikan sambutan atau pengarahan sesuai harapan. Insiden ini menimbulkan kekhawatiran tentang kapasitas kepemimpinan Gibran, yang meskipun cepat meraih posisi tinggi di panggung nasional, dinilai belum memiliki rekam jejak yang cukup dalam pemerintahan tingkat tinggi.
Kapasitas Kepemimpinan yang Minim
Dalam konteks pengembangan kepemimpinan, absennya Gibran dari peran penting seperti memberikan sambutan pada acara besar ini menunjukkan adanya kesenjangan signifikan dalam keterampilan komunikasi dan kemampuan berinteraksi dengan publik. Jabatan Wakil Presiden memerlukan lebih dari sekadar kehadiran simbolis, melainkan juga kapasitas untuk berbicara dengan keyakinan di hadapan publik, memberikan arahan yang strategis dan inspiratif. Ketiadaan sambutan pada acara MTQ ini mencerminkan kurangnya kemampuan Gibran dalam aspek kepemimpinan yang tegas dan komunikasi strategis.
Political Capital yang Diragukan
Karier Gibran, yang melesat dari pengusaha muda menjadi Wali Kota Solo, lalu Wakil Presiden, memicu perdebatan mengenai political capital-nya. Sebagai figur publik yang memiliki visibilitas tinggi, Gibran masih dipertanyakan kemampuannya dalam hal pengaruh politik. Karier politiknya yang relatif singkat dan tanpa track record yang jelas dalam pengambilan keputusan strategis atau manajemen krisis menyebabkan keraguan terhadap kapasitasnya sebagai pemimpin nasional. Perdebatan juga mencuat mengenai apakah kemajuan kariernya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor meritokrasi atau nepotisme.
Dampak Bagi Governance
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran mengenai stabilitas pemerintahan. Ungkapan “naik panggung tanpa kemampuan, ia akan turun tanpa kehormatan” terasa relevan dalam konteks ini. Seorang pemimpin yang tidak dapat memenuhi ekspektasi publik dan tidak mampu mengelola tantangan yang ada berisiko merusak kredibilitas dirinya dan menciptakan dampak negatif bagi stabilitas pemerintahan. Dalam periode yang penuh dengan tantangan global, termasuk gejolak ekonomi dan dinamika politik domestik, Indonesia memerlukan pemimpin yang memiliki ketahanan menghadapi krisis serta keterampilan pengambilan keputusan yang matang.(*)