Mahkamah Konstitusi (MK) mewajibkan kembali pemberlakuan upah minimum sektoral (UMS).
Hal ini termaktub dalam Putusan MK Nomor 168/PUU-XXII/2024 yang mengabulkan sebagian tuntutan sejumlah serikat pekerja terkait isu ketenagakerjaan dalam Undang-undang (UU) Ciptaker terbaru.
"Menyatakan Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU Nomor 6 Tahun 2023 … bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai 'termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota'," tulis MK dalam putusannya.
Sebelumnya, aturan tentang pemberlakuan UMS terdapat pada UU Ketenagakerjaan yang ditandatangani pada 2003.
Namun, UU Ciptaker menghapus ketentuan tersebut.
MK sependapat dengan gugatan yang dilayangkan oleh kaum buruh bahwa dalam praktiknya, penghapusan UMS sama saja dengan negara yang tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi pekerja.
Sebab, pekerja di sektor-sektor tertentu memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda.
Ada tuntutan pekerjaan yang lebih berat atau spesialisasi yang diperlukan, sehingga memerlukan standar upah yang lebih tinggi.
Penghapusan UMS dinilai justru dapat mengancam standar perlindungan pekerja, khususnya pada sektor-sektor yang sebetulnya memerlukan perhatian khusus dari negara.
Oleh karena itu, MK menegaskan bahwa UMS mesti diberlakukan lagi.
"Penghapusan ketentuan upah minimum sektoral bertentangan dengan prinsip perlindungan hak-hak pekerja yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, terutama hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," bunyi pertimbangan putusan MK.
Dalam putusan yang sama, MK juga mengubah sejumlah pasal dalam klaster pengupahan.
Pertama, Mahkamah mengembalikan komponen hidup layak sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari hitungan upah yang sebelumnya dihapus oleh UU Ciptaker.
MK meminta pasal tentang pengupahan harus "mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua."
Kedua, MK juga menghidupkan kembali peran dewan pengupahan yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah sebagai bahan bagi pemerintah pusat dalam menetapkan kebijakan upah.
Aturan mengenai dewan pengupahan juga dilengkapi MK dengan klausul bahwa dewan tersebut "berpartisipasi secara aktif."
Ketiga, majelis hakim merasa perlu menambahkan frasa "yang proporsional" untuk melengkapi frasa "struktur dan skala upah."
MK juga memperjelas frasa "indeks tertentu" dalam hal pengupahan sebagai "variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh."
Keempat, Mahkamah juga memasukkan kembali frasa "serikat pekerja/buruh" pada aturan soal upah di atas upah minimum.
Sebelumnya, dalam Perppu/UU Ciptaker, kesepakatan itu dibatasi hanya antara perusahaan dan pekerja.
Kelima, MK menambahkan bahwa struktur dan skala upah di perusahaan tidak hanya memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, tetapi juga "golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi."(*)