Penetapan tersangka terhadap Tom Lembong, yang dikenal sebagai tokoh dekat Anies Baswedan, telah menarik perhatian banyak pihak.
Kasus yang membawanya berurusan dengan hukum terkait dengan kebijakan impor yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi pada periode pertama pemerintahannya.
Hal ini dinilai sebagai persekusi politik oleh beberapa pengamat.
Salah satu pengamat yang berpendapat demikian adalah peneliti dan pengamat politik ISEAS, Made Supriatma.
Melalui tulisannya di akun Facebook-nya, Made Supriatma memberikan analisis mendalam terkait kasus tersebut.
Dalam tulisannya berjudul "Korupsi Sebagai Alat Persekusi Politik," Made menyatakan bahwa Tom Lembong, yang merupakan penasihat Anies Baswedan dalam Pilpres 2024, pernah menjabat sebagai Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Menteri Perdagangan di periode pertama pemerintahan Jokowi.
Tuduhan serius yang dikenakan kepada Tom Lembong adalah memberikan izin impor gula sebanyak 105 ribu ton yang diduga merugikan negara sebesar 400 miliar.
Jumlah yang fantastis ini terjadi antara tahun 2015-2016, saat Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan.
Lembong dituduh menyalahi prosedur karena izin impor tersebut seharusnya hanya diberikan kepada BUMN, namun ia memberikan izin kepada perusahaan swasta.
Akibat tuduhan ini, Tom Lembong langsung ditahan oleh Kejaksaan Agung dan diancam hukuman penjara seumur hidup.
Made Supriatma berpendapat bahwa meskipun hukum harus berjalan, banyak pertanyaan yang harus diajukan terkait keadilan proses ini.
Ia mempertanyakan mengapa kasus yang terjadi pada 2015-2016 baru diproses sekarang.
"Apakah ini adalah proses pencarian keadilan atau sebuah persekusi politik?" tanyanya.
Meskipun Made tidak mengenal Tom Lembong dan mungkin tidak sepakat dengan pandangan politiknya, ia merasa kasus ini terkesan mencurigakan.
"Ini terlihat sangat ‘fishy’ atau berbau amis," tambahnya.
Made menjelaskan bahwa yang diadili adalah kebijakan yang diambil oleh seorang Menteri Perdagangan, dan hal itu seharusnya melibatkan tanggung jawab presiden yang berkuasa saat itu.
Jika memang yang diadili adalah kebijakan, Made menegaskan, maka presiden seharusnya diminta untuk bertanggung jawab.
Ia menggarisbawahi bahwa jika presiden tidak mengetahui soal kebijakan impor gula ini dan ada indikasi korupsi, mengapa tidak memerintahkan Kejaksaan Agung untuk memeriksa Tom Lembong saat itu?
Made menyebut bahwa jika kesalahan ada pada presiden, maka presiden seharusnya yang memikul tanggung jawab.
Ia menekankan bahwa jika ini berkaitan dengan aktivitas politik Tom Lembong, maka patut dicurigai bahwa ini adalah bentuk persekusi politik.
"Rejim Jokowi dan sekarang Prabowo memang berusaha untuk mengenyahkan kekuatan Anies Baswedan dan kelompoknya," tegas Made.
Ia memperingatkan bahwa jika ini benar, maka akan menjadi bukti adanya persekusi politik yang terang-terangan.
Made juga mengungkapkan bahwa banyak orang dengan kekuatan politik yang berpotensi melawan pemerintahan Jokowi dan Prabowo yang telah menjadi korban persekusi dengan kasus-kasus korupsi.
Meskipun tidak semua orang yang dituduh korupsi adalah bersih, ia menekankan bahwa rejim korup memanfaatkan isu korupsi untuk melawan sesama koruptor.
Dalam hal ini, ia menyebutkan bahwa keadilan telah dipermainkan sebagai praktik korupsi.
"Hentikan menggunakan korupsi sebagai alat persekusi politik," tegas Made.
Ia menyerukan perlunya memperlakukan korupsi sebagai praktik yang menyengsarakan seluruh bangsa, khususnya masyarakat miskin dan lemah.
Jika tidak ada upaya untuk mengendalikan hal ini, Made khawatir negeri ini tidak akan pernah keluar dari lingkaran korupsi.
"Jika kita konsekuen dengan mendudukkan korupsi sebagai penyakit masyarakat, maka tatanan politik di negeri ini akan terjungkir balik," tutup Made Supriatma.(*)