Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

'Terlalu Mahal Mengistimewakan Wapres Gibran, Tak Setara Dengan Kemampuannya'

Tiba di Akmil Magelang, Wakil Presiden Gibran Langsung Disambut Meriah  Warga | Prokalteng

Penulis: Ali Syarief - Fusilatnews

Pemilu dan Pilpres merupakan dua mekanisme penting dalam demokrasi modern. Di Indonesia, pelaksanaan kedua proses ini tidak hanya menuntut biaya yang sangat besar, namun juga menguras energi bangsa secara keseluruhan. Dana yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, setiap kali Pemilu dan Pilpres digelar, sebagian besar sumber daya negara dialokasikan untuk penyelenggaraan proses demokrasi ini.

Namun, masalah biaya ini bukan satu-satunya beban yang harus ditanggung bangsa. Persoalan kemudian muncul ketika hasil dari proses yang mahal dan penuh perjuangan tersebut melahirkan sosok pemimpin yang tidak sesuai dengan harapan. Kasus terpilihnya Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden dalam Pemilu 2024 adalah contoh nyata yang menggambarkan bagaimana biaya besar yang dikeluarkan justru menghasilkan polemik berkepanjangan.

Kontroversi Legitimasi dan Beban Fasilitas Negara

Pertama-tama, terpilihnya Gibran sebagai Wakil Presiden menyulut kontroversi terkait legitimasi proses pemilihannya. Banyak pihak yang meragukan apakah ia benar-benar mendapatkan mandat dari rakyat atau justru terjadi manipulasi dalam proses pemilu. Kontroversi ini menampilkan kesinambungan antara biaya besar yang dikeluarkan dengan kualitas pemimpin yang dihasilkan. Pemilu dan Pilpres yang seharusnya menjadi cerminan kehendak rakyat, justru menimbulkan pertanyaan serius mengenai apakah hasil yang dicapai benar-benar sesuai dengan aspirasi dan harapan bangsa.

Lebih dari itu, terpilihnya Gibran juga menjadi sorotan karena ia diberikan fasilitas negara yang sangat besar, yang jika dilihat dari perspektif kapasitas dan kemampuan dirinya, seolah berlebihan. Negara menyediakan berbagai kemudahan dan fasilitas untuk mendukung kinerja Wakil Presiden, termasuk tunjangan, fasilitas kendaraan, rumah dinas, serta staf yang mendukung. Namun, fasilitas-fasilitas ini menjadi terlalu mahal ketika disandingkan dengan kompetensi minimum yang dimiliki oleh Gibran.

Ketidaksetaraan Kemampuan dan Tanggung Jawab

Secara tujuan, Gibran tidak memiliki latar belakang pendidikan yang mumpuni dalam politik maupun pemerintahan. Ia juga tidak menunjukkan pengalaman kepemimpinan yang cukup untuk menjalankan tugas berat sebagai Wakil Presiden. Kurangnya aspek pendidikan dan kepemimpinan ini menjadi isu serius, mengingat tanggung jawab yang diemban oleh seorang Wakil Presiden sangatlah besar. Negara saat ini tengah menghadapi berbagai tantangan, mulai dari krisis ekonomi, kemiskinan, hingga masalah sosial yang kompleks.

Namun, alih-alih memilih pemimpin yang kompeten dan berpengalaman, bangsa ini seolah dipaksa menerima sosok yang tidak memiliki kapasitas yang memadai. Hal ini menciptakan kesan bahwa negara, khususnya di bawah kepemimpinan Jokowi, lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan keluarganya daripada kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Politik Dinasti dan Isu Meritokrasi

Terpilihnya Gibran juga menjadi contoh nyata dari semakin menguatnya dinasti politik di Indonesia. Gibran, yang merupakan putra Presiden Jokowi, dianggap sebagai penerus kekuasaan keluarganya, meskipun memiliki kemampuan yang diselidiki. Dinasti politik seperti ini mempertahankan prinsip meritokrasi—dimana jabatan publik seharusnya diberikan berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan hubungan keluarga. Kondisi ini merugikan bangsa, terutama ketika sumber daya negara digunakan untuk memfasilitasi figur-figur yang belum terbukti dapat memberikan kontribusi signifikan bagi kemajuan negara.

Selain itu, langkah negara yang terus-menerus mengistimewakan keluarga Jokowi, termasuk Gibran, menciptakan ketimpangan sosial yang semakin kentara. Ketika banyak anak muda Indonesia yang kompeten dan berpendidikan tinggi harus berjuang keras untuk mendapatkan tempat di pemerintahan, seorang Gibran, yang minim pengalaman, justru memperoleh fasilitas dan posisi strategis dengan mudah. Hal ini jelas tidak sebanding dengan kebutuhan bangsa yang memerlukan sosok pemimpin berkualitas di masa-masa sulit seperti sekarang.

Dampak Buruk Fasilitas Lebih Baik

Fasilitas yang disediakan negara untuk Gibran juga menimbulkan dampak negatif. Dengan segala kemudahan yang diberikan, Gibran bisa terjebak dalam kenyamanan tanpa merasakan tantangan nyata yang dihadapi rakyat Indonesia. Ketika pemimpin tidak merasakan langsung kesulitan yang dialami masyarakat, keputusan yang diambil pun bisa jadi tidak relevan dan tidak berdampak signifikan. Lebih parah lagi, fasilitas yang berlebihan ini justru merugikan negara, mengingat dana yang seharusnya bisa dialokasikan untuk program-program yang lebih mendesak, kini dihabiskan untuk membiayai kehidupan mewah seorang Wakil Presiden yang minim kontribusi.

Kesimpulan: Perlu Evaluasi Serius

Dalam menghadapi kenyataan ini, bangsa Indonesia perlu melakukan evaluasi secara serius terhadap sistem pemilihan dan pengelolaan pemimpin di masa depan. Pemilu dan Pilpres yang menguras anggaran dan energi bangsa seharusnya menghasilkan sosok pemimpin yang benar-benar kompeten dan mampu membawa perubahan positif. Namun, dengan terpilihnya Gibran sebagai Wakil Presiden, kita justru melihat bagaimana sistem demokrasi ini dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan keluarga tertentu. Jika situasi ini dibiarkan, maka bangsa ini akan semakin terpuruk, dengan para pemimpin yang tidak mampu membawa kita keluar dari krisis, dan fasilitas negara yang semakin disalahgunakan untuk kepentingan yang tidak sebanding dengan kontribusinya.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Onlineindo.TV | All Right Reserved