Sunarto Dilantik sebagai Ketua Mahkamah Agung, Prof. Amzulian: Harapan Baru untuk Penegakan Hukum
Anggota Komisi Yudisial (KY), Prof. Amzulian, menyatakan harapannya agar Sunarto dapat membawa perubahan signifikan bagi Mahkamah Agung (MA), sehingga MA dapat berfungsi sebagai lembaga peradilan yang agung dan semakin dipercaya oleh publik. Sunarto terpilih sebagai Ketua MA untuk periode 2024-2029, dikenal sebagai hakim yang bersih dari intervensi, dan hal ini diharapkan dapat memberikan angin segar dalam upaya pemberantasan korupsi.
“Terpilihnya Prof. Sunarto sebagai Ketua MA merupakan angin segar untuk penegakan hukum yang berkeadilan dan bebas dari intervensi. Harapannya, semoga MA menjadi badan peradilan yang benar-benar dipercaya publik,” ungkap Amzulian.
Harapan yang sama juga disampaikan oleh para akademisi, pakar hukum, dan pegiat antikorupsi. Mereka percaya bahwa muruah MA sebagai benteng terakhir untuk mencari keadilan kini berada pada sosok Sunarto. Dalam situasi yang penuh harapan ini, para pakar mengingatkan Sunarto untuk menjaga independensi dalam menangani kasus hukum, termasuk dalam proses peninjauan kembali (PK) terhadap mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H. Maming.
Sunarto diminta untuk mengedepankan hukum dengan benar dan menggunakan nuraninya dalam memproses perkara Maming, terutama karena ada dugaan kuat bahwa kasus tersebut sengaja direkayasa. Menurut Prof. Romli Sasmita dari Universitas Padjadjaran, terdapat kesesatan hukum dalam putusan hakim terhadap Mardani H. Maming, yang dinilai tidak didasarkan pada fakta hukum yang sebenarnya, melainkan lebih pada imajinasi penegak hukum.
"Proses hukum terhadap terdakwa bukan hanya mencerminkan kekhilafan atau kesalahan nyata, tetapi merupakan sebuah kesesatan hukum yang serius," tegas Romli, yang juga Ketua Tim Penyusun RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Senada dengan pendapat tersebut, Prof. Dr. Topo Santoso, SH, MH, meminta agar Mardani H. Maming segera dibebaskan mengingat adanya kekhilafan hakim. Ia menyatakan bahwa putusan terhadap Maming menunjukkan jelas adanya kesalahan hakim. Unsur menerima hadiah dari pasal yang didakwakan tidak terpenuhi, mengingat hubungan hukum dalam proses bisnis seperti fee, dividen, dan utang piutang merupakan ranah keperdataan yang tidak dapat dikenakan pidana.
“Keputusan Pengadilan Niaga yang mengadakan sidang terbuka menunjukkan tidak ada kesepakatan diam-diam, sehingga tidak ada hubungan sebab-akibat antara keputusan terdakwa sebagai Bupati dan penerimaan fee atau dividen. Oleh karena itu, tidak terdapat niat jahat (mens rea) dalam tindakan terdakwa. Dengan demikian, Mardani H. Maming harus dinyatakan bebas,” ujar Topo.
Dukungan terkait kasus ini juga datang dari Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn, akademisi dari Departemen Hukum Administrasi Negara dan Departemen Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada, yang menegaskan bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum tidak cukup kuat untuk membuktikan adanya unsur pidana korupsi.
Ia mengkritisi penerapan Pasal 12 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), berargumen bahwa tindakan Mardani H. Maming masih berada dalam koridor kewenangan sebagai kepala daerah dan tidak melanggar prosedur yang berlaku. "Putusan ini mengkhawatirkan karena mengaburkan batas antara tindakan administratif dan tindak pidana korupsi," katanya.
Terdapat pula desakan untuk membebaskan Mardani H. Maming setelah dilakukan eksaminasi terhadap putusan hakim, yang menunjukkan adanya kekhilafan dan kesalahan dalam vonis yang diberikan. Dr. Mahrus Ali, pengajar Hukum Pidana di Fakultas Hukum UII, menilai bahwa Mardani H. Maming tidak melanggar semua pasal yang dituduhkan dan harus dibebaskan demi hukum dan keadilan.
“Koreksi putusan menjadi penting, tidak hanya untuk Maming, tetapi juga untuk mempertebal rasa kepercayaan publik terhadap Mahkamah Agung,” pungkas Mahrus Ali.***