Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Singgung IKN 'Kota Hantu', Jokowi tak Dihukum seperti Edy Mulyadi

Singgung IKN 'Kota Hantu', Jokowi tak Dihukum seperti Edy Mulyadi

Analis hukum sekaligus advokat Integrity Law Firm, Raziv Barokah berbicara ketidakadilan penegakan hukum di Indonesia. Dia menyoroti pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) IKN 'kota hantu' sebagai sebuah pelecehan tapi tak ditindak hukum seperti Edy Mulyadi yang dipenjara usai sebut Kalimantan tempat jin buang anak.

"Kita lihat sekarang penegakan hukum ini kan tebang pilih, banyak di beberapa tempat orang melakukan tindakan serupa dengan yang dilakukan oleh pejabat negara, tapi mereka kena sanksi hukum. Ada satu hal yang menarik, ada satu orang pernah dipenjara akibat mengatakan IKN kita itu pernah menjadi tempat jin buang anak," ucap Raziv dalam Simposium Nasional PB HMI bertajuk 'Memperkuat Demokrasi Pembangunan dan Kesejahteraan' di Hotel Milenium, Jakarta Pusat, Minggu (13/10/2024).

Jika mencermati ucapan Jokowi itu, berarti membenarkan apa yang pernah di lontarkan oleh Edy Mulyadi soal 'Jin Buang Anak'.

Anehnya lagi, seakan Jokowi mengkritik proyek nasional strategis yang menjadi kebanggaannya, saat proyek itu merana karena investor yang dijanjikan akan berinvestasi di IKN tak kunjung terbukti.

"Pak Jokowi di 7 oktober bilang 'jangan sampai IKN jadi kota tempat jin buang anak', konyol ada pernyataan seperti itu sebelumnya dilaporkan dan masuk bui, tapi presiden menyatakan hal serupa (tidak ditindak hukum)," ujar dia.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin agar keramaian tercipta di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur. Jokowi mengingatkan agar IKN ke depan jangan menjadi kota hantu.

Jokowi ingin IKN menjadi kota yang hidup. Maka dari itu, ekosistem kehidupan masyarakat mulai dari kesehatan, pendidikan, hiburan, hingga logistik pun akan dibentuk.

"Di Nusantara ini yang namanya keramaian, crowd itu harus diciptakan terus, harus diadakan terus, sehingga sekali lagi ekosistem itu yang menjadi terbangun," ucap Jokowi, Senin (7/10/2024).

Kasus Edy Mulyadi

September 2022, Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat memerintahkan Edy Mulyadi dikeluarkan dari penjara meskipun menjatuhkan vonis penjara tujuh bulan 15 hari. Edy divonis bersalah oleh majelis hakim terkait ucapannya mengenai 'Kalimantan tempat jin buang anak'.

"Memerintahkan supaya terdakwa [Edy Mulyadi] segera dikeluarkan dari tahanan," ujar hakim ketua Adeng AK saat membacakan amar putusan di PN Jakarta Pusat, Senin (12/9/2022).

Hakim menuturkan Edy telah menjalani masa pidana sebagaimana vonis tersebut terhitung sejak yang bersangkutan diproses hukum.

"Oleh karena masa pidana yang akan dijatuhkan terhadap terdakwa sama dengan masa penangkapan atau penahanan yang telah dijalani terdakwa, maka perlu diperintahkan agar terdakwa segera dikeluarkan dari tahanan," tutur hakim.

Edy terbukti menyebarkan berita tidak pasti yang menimbulkan keonaran di kalangan masyarakat melalui pernyataan 'Kalimantan tempat jin buang anak'.

Pernyataan kontroversial Edy disampaikan saat konferensi pers KPAU (LSM Koalisi Persaudaraan & Advokasi Umat) beberapa waktu lalu.

Ia disebut melanggar Pasal 15 Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang mengatur ancaman pidana penjara maksimal dua tahun.

Vonis penjara tujuh bulan 15 hari diketahui lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum yang ingin Edy dihukum dengan pidana penjara selama empat tahun seperti dikutip dari inilah

'Akankah IKN Jadi Kota-Kota Hantu Ala China Yang Gagal Berkembang?

 Kedua, seperti yang disampaikan Jane Jacobs, kehidupan sosial dan interaksi di tingkat jalanan adalah inti dari keberhasilan kota. 

Pemerintah perlu memastikan bahwa Nusantara tidak hanya menjadi kota administratif yang kaku, tetapi juga menjadi tempat di mana penduduk dapat hidup dan berinteraksi secara dinamis. Jika elemen sosial ini diabaikan, Nusantara berisiko menjadi kota yang megah tetapi sepi.

Mantan Kepala Otorita Ibu Kota Negara (OIKN), Bambang Susantono, menyuarakan kekhawatiran mendalam tentang masa depan IKN Nusantara. Dalam pernyataannya awal September 2024, Bambang mengungkapkan firasat tak enak terkait megaproyek senilai Rp466 triliun tersebut.

Kekhawatiran Bambang berakar pada potensi kegagalan IKN menjadi ibu kota negara yang sesungguhnya—bukan hanya karena masalah fisik, tetapi juga karena risiko kegagalan dalam membangun kehidupan sosial. 

Sebagai orang yang pernah memimpin proyek tersebut, Bambang mengingatkan bahwa pembangunan infrastruktur IKN yang megah tidak akan berarti jika tidak disertai dengan pengembangan komunitas yang hidup. 

"Kita ini membangun kota, bukan membangun seperti developer. Jadi, bukan membangun properti saja, yang kita bangun kota," kata Bambang.

Pernyataan Bambang mencerminkan kekhawatiran yang lebih luas terkait nasib proyek-proyek kota baru di dunia, termasuk contoh nyata dari China. 

Kota-kota baru seperti Kangbashi, Tianducheng, dan Xiongan, adalah contoh pahit dari pembangunan megah yang gagal menarik cukup banyak penduduk. Pertanyaannya sekarang: apakah IKN Nusantara berisiko mengikuti jejak kota-kota gagal itu?

Teori Pengembangan Kota: Kota Sukses, Kota Gagal

Dalam teori perencanaan kota, banyak ahli tata kota dan perencana menyampaikan bahwa pembangunan kota bukan hanya soal infrastruktur fisik, tetapi juga mencakup elemen sosiokultural dan ekonomi yang memungkinkan kota berkembang. 

Jane Jacobs, salah satu pemikir terkenal di bidang tata kota, dalam bukunya The Death and Life of Great American Cities (1961), menekankan pentingnya “kehidupan jalanan” dan interaksi sosial sebagai inti dari keberhasilan kota.

Menurut Jacobs, kota yang berkembang adalah kota yang dinamis, dengan keanekaragaman fungsi—mulai dari perumahan, komersial, hingga ruang publik—yang mendorong interaksi sosial di tingkat jalanan. Tanpa elemen ini, kota-kota hanya akan menjadi tumpukan bangunan tanpa jiwa.

Pendapat Jacobs bisa dihubungkan dengan apa yang terjadi di kota-kota hantu seperti Kangbashi dan Tianducheng di China. Kota-kota itu tentu saja memiliki infrastruktur fisik yang baik, namun gagal membangun komunitas sosial yang kuat.

Hal itulah yang menjadi kekhawatiran utama Bambang Susantono terkait IKN Nusantara. Ia memperingatkan bahwa membangun kota harus diikuti dengan upaya membentuk masyarakat yang terhubung, yang tidak bisa dicapai hanya dengan infrastruktur fisik.

Edward Glaeser, seorang ekonom perkotaan terkemuka, dalam bukunya *Triumph of the City* (2011), juga menekankan bahwa kota-kota besar berkembang karena mereka menjadi pusat inovasi dan ekonomi. 

Menurut Glaeser, kota yang berhasil adalah kota yang mampu menarik penduduk melalui daya tarik ekonomi, inovasi, dan peluang kerja. 

Kota seperti New York atau London berkembang bukan hanya karena infrastruktur, tetapi karena kota-kota tersebut menjadi pusat kegiatan ekonomi yang menarik banyak orang untuk menetap. Dengan kata lain, infrastruktur saja tidak cukup; kota harus menciptakan daya tarik ekonomi yang nyata.

Salah satu elemen kunci dalam keberhasilan sebuah kota, menurut banyak ahli perencana kota, adalah konektivitas. Peter Hall, seorang planolog terkemuka, menekankan pentingnya transportasi dan aksesibilitas dalam mendukung pertumbuhan kota. 

Dalam *Cities in Civilization* (1998), bukunya yang laris, ia menguraikan bagaimana kota-kota besar di dunia selalu berkembang di sekitar pusat transportasi yang baik, yang menghubungkan mereka dengan pusat-pusat ekonomi lainnya. 

Tanpa konektivitas yang baik, kota berisiko menjadi terisolasi, sebagaimana terjadi pada Kangbashi dan Tianducheng, yang gagal menarik penduduk karena lokasinya yang terpencil.

Kota-kota Hantu di China: Kisah Kegagalan

China telah mengalami beberapa kegagalan besar dalam pembangunan kota-kota baru yang direncanakan dengan ambisi besar, tetapi berakhir menjadi “kota hantu.” 

Kangbashi, sebuah kota di Mongolia Dalam, dirancang untuk menampung satu juta orang, dengan infrastruktur modern dan fasilitas publik yang lengkap. Namun, setelah bertahun-tahun, hanya sekitar 150.000 penduduk yang tinggal di sana, meninggalkan sebagian besar kota kosong.

Jalan-jalan sepi, apartemen kosong, dan gedung-gedung pencakar langit yang tak berpenghuni menjadi ciri khas kota ini.

Tianducheng, yang dibangun sebagai replika Paris dengan menara Eiffel mini, juga mengalami nasib serupa. Kota ini dirancang untuk menampung 10.000 orang tetapi hanya dihuni sekitar 1.000 penduduk. 

Kota ini lebih sering menjadi latar foto pernikahan daripada sebagai tempat tinggal yang sesungguhnya. Dalam kasus ini, keterjangkauan properti menjadi faktor penghambat utama, di mana harga yang terlalu tinggi membuat banyak orang enggan pindah.

Xiongan, proyek terbaru yang dibangun dengan harapan besar sebagai pusat teknologi dan inovasi, juga menghadapi tantangan besar dalam menarik populasi yang cukup besar. 

Pemerintah China telah menggelontorkan miliaran dolar AS untuk proyek ini, tetapi hingga saat ini, hasilnya belum sesuai harapan.

Kesamaan dari kota-kota ini adalah kegagalan dalam menciptakan daya tarik ekonomi dan sosial yang cukup besar bagi penduduk untuk menetap. Ada sejumlah pelajaran penting yang bisa dipetik dari kegagalan kota-kota baru di China, yang dapat menjadi panduan dalam menghindari kesalahan serupa di IKN Nusantara.

Tiga Pelajaran Penting

Pertama, seperti yang ditekankan oleh Edward Glaeser dan Peter Hall, konektivitas dan daya tarik ekonomi memainkan peran penting dalam menentukan keberhasilan sebuah kota. 

Kota-kota hantu di China, seperti Kangbashi dan Tianducheng, gagal karena lokasinya yang terpencil dan sulit diakses. Nusantara, yang terletak di Kalimantan Timur, harus memiliki konektivitas yang kuat dengan pusat-pusat ekonomi di Pulau Jawa agar dapat menarik penduduk.

Kedua, seperti yang disampaikan Jane Jacobs, kehidupan sosial dan interaksi di tingkat jalanan adalah inti dari keberhasilan kota. 

Pemerintah perlu memastikan bahwa Nusantara tidak hanya menjadi kota administratif yang kaku, tetapi juga menjadi tempat di mana penduduk dapat hidup dan berinteraksi secara dinamis. Jika elemen sosial ini diabaikan, Nusantara berisiko menjadi kota yang megah tetapi sepi.

Ketiga, keterjangkauan hunian juga menjadi isu penting, seperti yang terlihat di Tianducheng. Jika properti di IKN Nusantara hanya dapat dijangkau oleh kalangan elit, maka penduduk umum akan enggan untuk pindah, dan kota tersebut akan gagal menarik populasi yang beragam.

Jika China terlalu jauh, tengoklah kota baru Naypyidaw di Myanmar. Kota yang dibangun sebagai ibu kota baru Myanmar pada 2005 itu dirancang untuk menampung sekitar satu juta penduduk dengan berbagai fasilitas pemerintahan modern. Pada realisasinya, kota ini hampir kosong dibanding luas dan fasilitasnya. 

Benar, ada yang bisa dipaksa pemerintah Myanmar untuk tinggal, yakni para pekerja pemerintah alias ASN. Namun, kota ini mendapat cap sebagai "kota hantu" karena penduduk lokal dan bisnis komersial enggan berpindah ke sana.

Nasib IKN Nusantara sangat tergantung pada bagaimana proyek ini dikelola dalam beberapa tahun mendatang. Jika pembangunan hanya berfokus pada infrastruktur fisik tanpa memperhatikan aspek sosial dan ekonomi, Nusantara berisiko menjadi kota megah namun sepi, mengikuti jejak kota-kota hantu di China. 

Namun, jika pemerintah mampu mengintegrasikan pembangunan sosial dengan baik—melibatkan masyarakat lokal, menciptakan peluang ekonomi, dan memastikan konektivitas yang kuat—Nusantara memiliki peluang besar untuk berhasil.***


Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Onlineindo.TV | All Right Reserved