Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengklaim proses penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) mineral logam di Indonesia selama ini sudah sesuai dengan aturan.
Hal itu merespons temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHP) Semester I 2024, bahwa setidaknya ada 88 IUP yang terdaftar dalam MODI mengalami permasalahan. BPK juga mengungkap temuan ada 4 wilayah tambang yang berpotensi ilegal.
“Kami melakukan selama ini sesuai dengan aturan makanya sedikit agak lama dan itu akhirnya dikeluhkan pengusaha kan karena kita berusaha ketat,” klaim anak buah Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Julian Ambassadur Shiddiq Julian, di Jakarta Barat, Jumat (25/10/2024).
Meski begitu, Kementerian ESDM memastikan juga akan menindaklanjuti sesuai dengan catatan BPK.
"Terus terang kami sih belum tahu laporannya, tapi tentunya kita akan menghormati dan kalau ada hal yang harus ditindaklanjuti dari kementerian pasti kita akan tindaklanjuti," kata Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana.
Berdasarkan catatan BPK, belum sesuainya proses penerbitan IUP yang terdaftar di aplikasi MODI Kementerian ESDM yang pertama adalah ketidaklengkapan persyaratan perizinan atas 61 IUP dari aspek administrasi, kewilayahan, teknis, finansial, dan lingkungan.
Lalu yang kedua soal ketidakjelasan dokumen yang dilampirkan pada proses pendaftaran 27 IUP, seperti dokumen IUP persetujuan pencadangan wilayah, eksplorasi, maupun operasi produksi tidak terdapat dalam database Pemda atau berbeda peruntukan dari yang tercantum pada SK Bupati.
"Akibatnya, IUP yang diterbitkan berpotensi menimbulkan permasalahan sengketa perizinan, tumpang tindih kewilayahan, pengelolaan tambang yang tidak sesuai dengan kaidah pertambangan yang baik dan merusak lingkungan, serta bermasalah dalam pemenuhan kewajiban finansial kepada negara," kata laporan tersebut, dikutip Minggu (26/10).
Selain itu, validitas dokumen legalitas 27 IUP yang terdaftar di aplikasi MODI juga kurang memadai.
Atas permasalahan tersebut, BPK pun merekomendasikan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia agar menginstruksikan Dirjen Minerba untuk melengkapi dokumen pengajuan dan pendaftaran atas 61 IUP Mineral Logam yang kurang lengkap.
Selanjutnya, melakukan rekonsiliasi data terhadap 27 IUP dengan pemerintah daerah dan instansi terkait, serta melakukan tindakan penertiban dan/atau sanksi administratif terhadap perizinan usaha pertambangan sesuai kewenangan yang dimiliki.
Tidak hanya ketidaksesuaian IUP di MODI, BPK juga mencatat terdapat potensi penambangan komoditas nikel tanpa izin pada 4 pemegang Wilayah IUP (WIUP) komoditas batuan peridotit dan tanah merah di Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.
"Akibatnya, terdapat potensi kehilangan pendapatan negara dari PPN dan royalti komoditas nikel yang ditambang tanpa izin pada areal IUP Batuan," kata BPK.
Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Bahlil agar menginstruksikan Dirjen Minerba untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah guna melakukan penertiban dan/atau pemberian sanksi administratif terhadap penyalahgunaan perizinan.
Di sisi lain, mengutip laman resmi MODI Ditjen Minerba Kementerian ESDM, per Jumat (25/10/2024), kementerian telah menerbitkan 4.283 izin usaha pertambangan (IUP), 10 izin usaha pertambangan khusus (IUPK), 31 kontrak karya (KK), dan 59 perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B).
Sekadar catatan, pemberian IUP diatur salah satunya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Beleid tersebut mengatur IUP diberikan oleh menteri yang diajukan oleh menteri berdasarkan permohonan yang diajukan oleh badan usaha, koperasi atau perusahaan perseorangan.
IUP diperoleh melalui tahapan pemberian wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) dan pemberian IUP seperti dikutip dari monitorindonesia
Temuan BPK: Data Investasi Era Menteri Bahlil Menyesatkan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti perlunya peningkatan akurasi dan transparansi pelaporan investasi pada sektor kehutanan dan pertambangan.
Hal ini menyusul ditemukannya ketidaksesuaian antara data yang dilaporkan dengan realisasi di lapangan selama semester pertama 2024 sebagaimana Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I-2024 yang diterbitkan BPK pada Jumat, 25 Oktober 2024.
Pada periode tersebut, posisi Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dijabat Bahlil Lahadalia sebelum digantikan Rosan Roeslani pada pertengahan Agustus 2024.
Menurut laporan BPK, data yang selama ini dipublikasikan berpotensi menyesatkan dan tidak mencerminkan kondisi nyata, sehingga dapat berdampak pada persepsi publik serta penilaian para pemangku kepentingan.
Dalam laporannya, BPK mengidentifikasi beberapa masalah utama, termasuk sejumlah pelaku usaha yang belum memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) serta belum melaporkan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM).
Selain itu, fitur LKPM pada subsistem pengawasan OSS (Online Single Submission) berbasis risiko atau risk-based approach (RBA) juga dianggap belum efektif dalam menyediakan data yang tepat.
Menurut BPK, data yang dilaporkan tidak mencerminkan kondisi sebenarnya di lapangan, sehingga dapat menyesatkan publik dan para pemangku kepentingan.
Maka dari itu, BPK meminta Menteri Investasi saat ini, Rosan Perkasa Roeslani untuk melakukan pembenahan fitur LKPM pada sistem OSS RBA agar dapat menghasilkan data lebih akurat.
Selain itu, diharapkan adanya notifikasi kepada pelaku usaha yang belum mematuhi kewajiban pelaporan LKPM sebagai bentuk pengawasan dan pembinaan berkelanjutan.***