Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, menyatakan bahwa transformasi pendidikan dalam payung “Merdeka Belajar” selama lima tahun terakhir telah menjadi kunci meningkatnya kualitas pendidikan Indonesia. Intervensi menggunakan teknologi oleh guru, kepala sekolah, dan kepala dinas pendidikan telah berhasil menyederhanakan proses administrasi dan membuat seluruh pihak dapat lebih berfokus pada penyelenggaraan pembelajaran yang mengutamakan kebutuhan murid serta membuka peluang pembelajaran yang lebih luas.
“Dalam lima tahun terakhir, Indonesia telah melakukan transformasi besar dalam sistem pendidikan. Kami menggunakan teknologi sebagai penyeimbang sistem pendidikan, guna mendorong potensi para penggerak pendidikan seperti guru, kepala sekolah, dan kepala dinas (pendidikan) sehingga dapat berkolaborasi dan meningkatkan kualitas layanan pendidikan kepada murid,” ujar Nadiem di acara Gateways Study Visit Indonesia (GSVI) 2024 di Denpasar, Bali, Rabu 2 Oktober 2024.
Menurut Nadiem, Kementerian Pendidikan melakukan transformasi pendidikan melalui pengembangan teknologi, yang
dirancang untuk meningkatkan dinamika pembelajaran di ruang kelas, dengan memindahkan beban administrasi guru dan kepala sekolah ke teknologi. Sehingga mereka dapat fokus untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan bagi para murid.
Nadiem menambahkan, di Indonesia, salah satu langkah awal transformasi yang dilakukan adalah membangun tim teknologi yang bertugas khusus untuk mengembangkan berbagai produk teknologi guna memformulasikan kebijakan untuk mengakomodasi kebutuhan guru, kepala sekolah, murid, hingga mahasiswa. Ia mengakui tidak mudah pada tahap awal karena adanya pandangan paternalistik para pembuat kebijakan.
“Pemerintah tampaknya berpikir bahwa mereka tahu segalanya tentang konstituen mereka dan apa yang mereka butuhkan,” kata Nadiem.
Tapi pendiri Gojek ini terus menjalankan rencana transformasi pendidikannya dengan bantuan teknologi. Ia pun mengklaim kebijakannya ditiru kementerian lain.
“Setelah dua tahun kami menciptakan produk-produk ini (berbagai aplikasi pendidikan dan manajemen pendidikan), kementerian lain mulai penasaran, bertanya apa yang kami lakukan, kemudian membangun tim mereka sendiri,” kata Nadiem.
Di beberapa daerah, aplikasi pemerintah memang berhasil membantu pendidikan dan manajemen pendidikan. Kepala Sekolah SMA Negeri 3 Denpasar, Kadek Dwi Rustinawati, menyatakan bagaimana sekolahnya terbantu dengan berbagai aplikasi yang ada, di antaranya Rapor Pendidikan.
“Dulu, pengambilan keputusan tidak bisa cepat,” katanya di gedung SMP Negeri 3 di Denpasar, Bali. Karena pengumpulan data soal pendidikan mesti dikumpulkan dari berbagai survei dan rapat.
Namun setelah ada aplikasi, pengambilan keputusan lebih cepat dan mempermudah evaluasi program.
Tentu ada tantangan. Seperti di SMA Negeri 3, ada beberapa guru berusia lanjut yang susah mengenal teknologi. “Kolaborasi dengan guru-guru muda,” kata Kadek.
Tantangan lain juga ada, di antaranya untuk pengajar atau sekolah di daerah terpencil yang akses internet atau bahkan listrik terbatas. Beberapa upaya dilakukan. “Kami ada program Awan Penggerak,” kata Yudhistira Nugraha, Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian Pendidikan.
Program ini memungkinkan akses ke berbagai sumber daya pembelajaran dan aplikasi secara fleksibel melalui internet. “Juga ada guru-guru yang membantu guru-guru lain,” kata Yudhistira seperti dikutip dari tempo
Berapi-api JK Kritik Habis Nadiem dan Kurikulum Merdeka, Semprot soal Ujian Nasional: Merdeka Apanya, Belajar Juga Tidak
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) memberikan kritik pedas terhadap Menteri Pendidikan Nadiem Makarim dan kebijakan Kurikulum Merdeka yang digagasnya.
Hal tersebut disampaikan JK dalam diskusi bertajuk "Menggugat Kebijakan Anggaran Pendidikan" yang digelar di Jakarta, Jumat, 7 September 2024.
Dalam acara yang diselenggarakan Komisi X DPR RI dan Kemendikbudristek, JK mempertanyakan efektivitas kebijakan pendidikan yang berkiblat pada negara-negara seperti Finlandia hingga Swedia.
Menurut JK, situasi sosial dan ekonomi di negara-negara tersebut berbeda jauh dengan Indonesia, sehingga kebijakan pendidikan yang diterapkan di sana tidak relevan untuk diterapkan di Indonesia.
"Kenapa kita tidak belajar dari Cina dan India? Jangan kita belajar ke Finlandia. Jadi, nanti kalau Bapak Menteri mau kirim orang studi banding, jangan ke Finlandia, jangan ke Swedia. Tidak ada gunanya, itu cuma mimpi.
Pergi ke Cina, ke Korea, ke Jepang, ke India, lihat di sana," kata JK keras dalam pidatonya, dikutip Senin (9/9/2024).
JK mencontohkan India sebagai negara dengan sistem pendidikan yang sukses, di mana banyak lulusan India menempati posisi penting di perusahaan-perusahaan besar dunia.
“Hampir semua perusahaan besar di Amerika CEO-nya dari orang India, mau Microsoft, mau Twitter, dari India semua.
Bahkan nanti Wakil Presiden Amerika bisa jadi Presiden, Kamala Harris, ibunya orang India. Perdana Menteri Inggris dulu dari India, Walikota London juga orang India. Artinya, ada sesuatu di India, pendidikan di sana luar biasa hebat,” tambah JK.
Selain itu, JK juga mengkritik soal penghapusan Ujian Nasional yang sebenarnya penting untuk mengukur kemampuan serta memacu siswa untuk belajar.
Menurutnya, Kurikulum Merdeka yang memberikan kebebasan belajar tanpa adanya ujian atau kontrol yang ketat tidak akan menghasilkan siswa yang kompetitif. "Ujian Nasional, Anda bisa lihat di sana, konservatif.
Kapan kita belajar kalau tidak ada ujian? Kalau tidak ada ujiannya, kapan belajarnya?" ucap JK. JK melanjutkan kritiknya dengan menyatakan bahwa konsep Merdeka Belajar justru membuat siswa tidak belajar dengan serius.
“Merdeka, merdeka apa? Merdeka tidak, belajar juga tidak. Apalagi kalau Merdeka malah dibiarkan begitu saja, tidak ada kontrol,” lanjutnya.
JK juga menyoroti kebijakan pemerintah terkait sekolah kejuruan (SMK) yang belum mampu mengatasi masalah ketenagakerjaan.
Ia mengungkapkan bahwa banyak lulusan SMK justru berakhir menjadi pekerja informal, seperti caddy di lapangan golf.
“Kita punya ide bikin 15.000 SMK, sekarang ada 10.000 SMK swasta dan 5.000 pemerintah.
Tapi 75% lulusannya malah jadi caddy di lapangan golf. Dari 4 caddy, 3 tamat dari SMK. Jadi, mana yang salah? Ekonomi salah, pendidikan juga salah. Dua-duanya salah,” ujar JK mengakhiri kritiknya.***