Kejaksaan Agung (Kejagung) menangkap tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang memvonis bebas Gregorius Ronald Tannur pada Rabu (23/10/2024) kemarin.
Mereka adalah Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindiyo.
Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar menuturkan ketiga hakim tersebut ditangkap saat terjaring operasi tangkap tangan (OTT).
Dalam jumpa pers yang digelar di Kejagung, Jakarta, Qohar menyebut pihaknya melakukan penggeledahan di enam lokasi dan sudah menyita uang sebesar Rp20 miliar.
Dia menyebut tiga hakim yang memvonis bebas Ronald Tannur diduga menerima suap dan gratifikasi dari pengacara bernama Lisa Rahmat.
"Penyidik menemukan adanya indikasi kuat bahwa pembebasan Ronald Tannur tersebut diduga ED, HH, M, dan menerima suap atau gratifikasi dari pengacara LR," ujar Qohar.
Qohar menuturkan pihaknya menyita uang dari rumah dan apartemen Erintuah Damanik, apartemen Heru Hanindyo, apartemen Mangapul, dan rumah serta apartemen Lisa Rahmat.
Berikut rincian uang Rp20 miliar yang disita dari keenam lokasi tersebut:
1. Rumah Lisa Rahmat di Rungkut, Surabaya
- Uang Tunai Rp1.190.000.000
- Uang tunai 451.700 dolar AS
- Uang tunai 717.043 dolar Singapura
2. Apartemen Lisa Rahmat di Menteng, Jakarta Pusat
- Uang tunai Rp2.126.000.000 yang terdiri dari pecahan rupiah dan mata uang asing
- Dokumen bukti penukaran uang
- Catatan pemberian uang dan ponsel
3. Apartemen Erintuah Damanik di Tidar, Surabaya
- Uang tunai Rp97.500.000
- Uang tunai 32.000 dolar Singapura
- Uang tunai 35.992 ringgit Malaysia
- Barang bukti elektronik
4. Rumah Erintuah Damanik di Semarang
- Uang tunai 6.000 dolar AS
- Uang tunai 300 dolar Singapura
- Barang bukti elektronik
5. Apartemen Heru Hanindiyo di Ketintang, Surabaya
- Uang tunai Rp104.000.000
- Uang tunai 2.200 dolar AS
- Uang tunai 9.100 dolar Singapura
- Uang tunai 100.000 yen
- Barang bukti elektronik
6. Apartemen Mangapul di Tidar, Surabaya
- Uang tunai Rp21.400.000
- Uang tunai 2.000 dolar AS
- Uang tunai 32.000 dolar Singapura
- Barang bukti elektronik
Alasan Tak Masuk Akal Hakim Bebaskan Ronald Tannur
Diketahui, penangkapan terhadap tiga hakim PN Surabaya ini berawal dari kejanggalan terkait vonis bebas terhadap Ronald Tannur dalam perkara penganiayaan berujung pembunuhan terhadap kekasihnya, Dini Sera Afrianti yang terjadi pada Oktober 2023 lalu.
Padahal, jaksa menuntut anak anggota DPR dari PKB, Edward Tannur itu agar dihukum 12 tahun penjara.
Adapun tuntutan tersebut berdasarkan dakwaan jaksa yakni menjerat terdakwa dengan Pasal 338 KUHP atau Pasal 351 ayat 3 atau Pasal 359 KUHP dan Pasal 351 ayat 1.
Namun, dalam vonisnya, hakim menganggap seluruh dakwaan jaksa gugur lantaran selama persidangan dianggap tidak ditemukan bukti yang meyakinkan bahwa Ronald Tannur adalah penyebab tewasnya Dini.
"Sidang telah mempertimbangkan dengan seksama dan tidak menemukan bukti yang meyakinkan terdakwa bersalah seperti yang didakwa," kata hakim dalam sidang vonis pada 24 Juli 2024 lalu di PN Surabaya.
Hakim menyebut Ronald masih melakukan upaya pertolongan terhadap Dini di masa-masa kritis.
Hal itu berdasarkan tindakan terdakwa yang masih membawa korban ke rumah sakit untuk memperoleh perawatan.
Selain itu, hakim juga menganggap tewasnya Dini bukan akibat penganiayaan yang dilakukan Ronald, tetapi karena dampak dari korban yang mengonsumsi minuman keras (miras) saat berkaraoke di Blackhole KTV Club, Surabaya.
Miras itu, kata hakim, mengakibatkan munculnya penyakit tertentu sehingga korban tewas.
"Kematian Dini bukan karena luka dalam pada hatinya. Tetapi, karena ada penyakit lain disebabkan minum-minuman beralkohol saat karaoke sehingga mengakibatkan meninggalnya Dini," kata Erintuah selaku ketua majelis hakim.
Hakim Dilaporkan ke KY dan MA oleh Keluarga Korban
Buntut vonis yang tidak masuk akal tersebut, keluarga korban pun lantas melaporkan tiga hakim ke Komisi Yudisial (KY) pada 29 Juli 2024 lalu.
Dalam pelaporan ke KY, keluarga Dini yang terdiri dari ayah korban, Ujang dan adik mendiang, Alfika, didampingi oleh kuasa hukum, Dimas Yemahura.
Selain itu, anggota DPR dari Fraksi PDIP, Rieke Diah Pitaloka turut melakukan pendampingan.
Dhimas menuturkan pihaknya membawa beberapa barang bukti seperti berkas dakwaan hasil visum Dini yang menunjukan korban bukan tewas akibat mengonsumsi alkohol hingga foto kondisi mendiang saat tewas.
"Bukti-bukti pendukung awal yang kami bawa adalah gambar-gambar yang menunjukkan bahwasanya pertimbangan yang digunakan hakim sudah tidak benar."
"Kedua, kami membawa bukti-bukti berupa dakwaan hasil visum yang dikatakan hasil visum itu tidak menerangkan bahwa (Dini) meninggal karena minum alkohol," katanya di Kantor KY, Jakarta.
Dhimas juga mengatakan pihaknya membawa berkas berupa dakwaan yang menunjukan tidak ada niatan dari Ronald Tannur untuk membawa Dini ke rumah sakit usai dianiaya.
Adapun hal tersebut merupakan salah satu pertimbangan hakim untuk membebaskan anak anggota DPR dari Fraksi PKB, Edward Tannur tersebut.
Setelah itu, keluarga korban berlanjut melaporkan tiga hakim itu ke Badan Pengawas Mahkamah Agung (MA) pada 31 Juli 2024.
Dimas menyebut laporan ini merupakan tindak lanjut dari laporan ke KY pada dua hari sebelumnya.
"Kami tambahkan saat ini, kami melaporkan tiga hakim tersebut ke Badan Pengawasan Agung di Mahkamah Agung, ujar Dimas di Kantor Badan Pengawasan MA, Jakarta Pusat.
Pada saat itu, Dimas menuturkan dalam materi laporannya terkait sifat dan etika hakim dalam proses persidangan.
Dia mencontohkan ketika ada sikap-sikap hakim yang tendensius saat persidangan di mana mereka menghentikan saksi yang sedang memberikan keterangan.
Dimas menuturkan perilaku hakim itu menandakan proses persidangan tidak berjalan dengan adil.
"Bagaimana (perilaku) hakim pada saat bersidang itu menurut kami tidak berjalan dengan fair, tidak berjalan dengan bagaimana peradilan itu berjalan dengan adil, jujur, dan bijaksana," jelasnya seperti dikutip dari tribunnews
Fakta-fakta 3 Hakim Kasus Ronald Tannur Terjaring OTT Kejagung
Kasus pembunuhan dan penganiayaan Dini Sera Afriyanti oleh Gregorius Ronald Tannur memasuki babak baru setelah sebelumnya sempat divonis bebas oleh hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Ketiga Majelis Hakim PN Surabaya yang menjatuhi vonis bebas di kasus tersebut yakni Erintuah Damanik, Heru Hanindyo dan Mangapul kini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) usai terjaring operasi tangkap tangan (OTT).
3 hakim terbukti terima suap
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar mengatakan ketiganya terbukti menerima gratifikasi atau suap dari pengacara Ronald Tannur, Lisa Rahmat untuk memberikan vonis bebas.
"Hari ini jaksa penyidik menetapkan tiga orang hakim atas nama ED, HH dan M setta pengacara LR sebagai tersangka karena telah ditemukan bukti korupsi berupa suap atau gratifikasi," ujarnya dalam konferensi pers, Rabu (23/10).
Barang bukti uang miliaran rupiah
Dalam kasus ini, Abdul mengatakan pihaknya juga turut menyita sejumlah barang bukti berupa uang tunai miliaran rupiah serta sejumlah mata uang asing dari keempat tersangka.
Atas perbuatannya, Abdul Qohar mengatakan pengacara Lisa Rahmat selaku pemberi suap dijerat dengan Pasal 5 Ayat 1 Juncto Pasal 6 Ayat 1 Juncto Pasal 18 UU Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara untuk hakim Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo selaku penerima suap dijerat dengan Pasal 5 Ayat 2 Juncto Pasal 6 Ayat 2 Juncto Pasal 12 huruf e Juncto Pasal 12B Juncto Pasal 18 UU Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Untuk mempermudah penyidikan, ia mengatakan ketiga hakim selaku penerima suap langsung ditahan di Rutan Surabaya. Sementara pengacara LR selaku pemberi suap ditahan di Rutan Salemba cabang Kejagung.
MA batalkan vonis bebas PN Surabaya
Di sisi lain, Mahkamah Agung (MA) juga membatalkan putusan bebas terhadap Ronald Tannur yang sebelumnya diberikan PN Surabaya. Lewat kasasi, MA menghukum anak dari mantan anggota DPR RI Fraksi PKB Edward Tannur itu dengan pidana penjara selama lima tahun.
"Amar putusan: kabul kasasi penuntut umum- batal judex facti," demikian amar putusan dilansir dari laman Kepaniteraan MA, Rabu (23/10).
Perkara nomor: 1466/K/Pid/2024 diperiksa dan diadili oleh ketua majelis kasasi Soesilo dengan hakim anggota Ainal Mardhiah dan Sutarjo. Panitera Pengganti Yustisiana. Putusan tersebut dibacakan pada Selasa, 22 Oktober 2024.
"Terbukti dakwaan alternatif kedua melanggar Pasal 351 Ayat (3) KUHP - Pidana Penjara selama 5 (lima) tahun - Barang bukti = Conform Putusan PN - P3 : DO," demikian bunyi amar putusan kasasi dimaksud.
Sebelumnya, Majelis Hakim PN Surabaya menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur atas kasus dugaan penganiayaan yang menyebabkan kematian seseorang.
Menurut hakim, kematian Dini Sera Afriyanti (29) disebabkan oleh penyakit lain akibat meminum minuman beralkohol, bukan karena luka dalam atas dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh Ronald Tannur.
Komisi Yudisial (KY) telah merekomendasikan sanksi berat berupa pemberhentian tetap dengan hak pensiun terhadap Erintuah Damanik dkk. KY meminta MA segera menggelar sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH) untuk menindaklanjuti rekomendasi dimaksud.
KY menyebut dalam temuan mereka ketiga hakim PN Surabaya pada kasus tersebut juga membacakan fakta hukum yang berbeda di persidangan dengan salinan putusan.
Atas dasar itu, KY menyatakan ketiga hakim dalam kasus itu terbukti secara meyakinkan melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim dengan klasifikasi tingkat pelanggaran berat.***