Penulis: Ali Syarief Fusilatnews
Di tahun 2012, Joko Widodo, yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Solo, mengungkapkan ambisi besarnya mengenai mobil Esemka, sebuah kendaraan yang diproduksi oleh siswa SMK. Dalam konferensi persnya, Jokowi dengan percaya diri menyatakan bahwa pesanan untuk mobil ini telah mencapai 4.000 unit, dan mobil tersebut siap diproduksi. Dia bahkan meminta publik untuk tidak menghubunginya secara langsung mengenai pesanan, tetapi untuk berkomunikasi langsung dengan PT Esemka Solo, menunjukkan keyakinan yang tinggi terhadap proyek ini
Namun, seiring berjalannya waktu, harapan dan mimpi yang dibangun di atas pernyataan tersebut mulai memudar. Janji untuk memproduksi mobil Esemka tidak pernah terwujud sesuai dengan ekspektasi yang telah diungkapkan. Pada akhirnya, semua klaim itu terbukti menjadi kebohongan besar. Jokowi tak mampu memenuhi pesanan yang telah dijanjikan, yakni 6.000 unit, dan Esemka tidak mampu memenuhi target produksi yang diharapkan.
Baca : https://nasional.kompas.com/read/2012/01/19/13445076/Jokowi.Kebanjiran.Pesanan.Mobil.Esemka
Kecewa dan kekecewaan masyarakat mulai muncul. Banyak yang merasa tertipu oleh janji manis yang dihembuskan Jokowi, sementara realitas menunjukkan bahwa mobil Esemka tidak kunjung diproduksi secara massal. Ketidakmampuan ini menimbulkan pertanyaan tentang integritas dan tanggung jawab seorang pemimpin. Sebagai seorang yang diharapkan menjadi panutan, Jokowi seharusnya mampu mempertanggungjawabkan kata-katanya di hadapan publik.
Melihat kembali pada saat itu, Jokowi tampak sebagai sosok yang visioner, mengusung semangat menciptakan mobil nasional dan membanggakan produk lokal. Namun, kenyataan pahit yang terungkap menunjukkan adanya ketidakcocokan antara harapan dan kenyataan. Alih-alih menjadi kebanggaan, Esemka justru menjadi simbol dari kegagalan dan kekecewaan yang dirasakan oleh masyarakat yang mengharapkan perubahan nyata.
Janji yang tidak ditepati menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Seorang pemimpin harus mampu berkomunikasi dengan jujur dan realistis kepada rakyatnya. Dalam dunia politik, kata-kata memiliki kekuatan besar, dan ketika janji-janji itu tidak dipenuhi, kepercayaan publik akan hilang. Jokowi, sebagai pemimpin yang berambisi, telah gagal mempertahankan kepercayaan tersebut, dan kini saatnya untuk meminta pertanggungjawaban atas semua janji yang telah diucapkan.
Masyarakat berhak menuntut pertanggungjawaban atas kebohongan yang telah disampaikan di media nasional. Ketidakmampuan untuk memenuhi janji bukan hanya sekadar kegagalan pribadi, tetapi juga mencerminkan ketidakmampuan untuk memenuhi harapan dan impian bangsa. Dengan segala kerendahan hati, saatnya kita introspeksi dan mempertanyakan, sejauh mana kita bisa mempercayai janji-janji pemimpin kita, dan bagaimana kita bisa mendorong mereka untuk lebih bertanggung jawab dalam tindakan dan ucapannya.