Publik dikejutkan dengan pengumuman dari Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menetapkan Thomas Trikasih Lembong, yang biasa dipanggil Thomas Lembong, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor gula tahun 2015-2016.
Thomas Lembong dikenal dekat dengan sejumlah politisi, dan saat ini merupakan mantan co-captain Timnas Anies pada Pilpres 2024.
Sebelumnya, Lembong telah lama menjalin kedekatan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Kedekatan antara Thomas Lembong dan Jokowi terjalin sejak Thomas menjadi penulis naskah pidato ketika Jokowi menjabat sebagai Gubernur DKI. Peran ini berlanjut setelah Jokowi menjadi Presiden pada 2014, di mana Lembong juga diberi tanggung jawab yang sama.
Lembong kemudian diangkat sebagai Menteri Perdagangan pada 2015. Setelah itu, ia menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dari 2016 hingga 2019.
Salah satu naskah pidato terkenal yang ditulis oleh Thomas Lembong untuk Jokowi adalah pidato "Game of Thrones," yang dibacakan Jokowi pada pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali pada 2018. Ada juga pidato "Thanos" yang disampaikan Jokowi saat Forum Ekonomi Dunia.
Namun, kedekatan antara Thomas Lembong dan Jokowi tampaknya memudar pada periode kedua pemerintahan Jokowi setelah Pilpres 2019. Pada 2021, Thomas Lembong justru "menyeberang" untuk bergabung dengan Anies Baswedan.
Anies, yang saat itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI, mengangkat Lembong sebagai Ketua Dewan PT Jaya Ancol. PT Jaya Ancol diketahui merupakan satu-satunya BUMD di Indonesia yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Kedekatan dengan Anies berlanjut saat Lembong terlibat dalam Pilpres 2024 sebagai co-captain Timnas Amin. Sejak saat itu, ia kerap mengkritik pemerintahan Jokowi, terutama terkait hilirisasi industri yang dinilai dilakukan dengan sembarangan.
Thomas Lembong lahir pada 4 Maret 1971 dan berprofesi sebagai pengusaha. Ia menyelesaikan pendidikan sarjananya di Universitas Harvard, lulus pada 1994 dengan gelar Bachelor of Arts di bidang arsitektur dan tata kelola.
Pada 1995, Lembong bekerja di Divisi Ekuitas Morgan Stanley di New York dan Singapura. Dari 1999 hingga 2000, ia melanjutkan karier di Deutsche Securities Indonesia dan pernah bekerja di Deutsche Bank Jakarta antara 1998 dan 1999.
Rekam jejaknya di bidang perbankan membawanya menduduki sejumlah jabatan penting. Ia pernah menjadi Senior Vice President dan Kepala Divisi penanggung jawab restrukturisasi dan penyelesaian kewajiban Salim Group akibat runtuhnya Bank BCA pada krisis moneter 1998.
Lembong juga menjabat sebagai kepala divisi dan wakil presiden senior di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 2000-2002, di mana BPPN bertugas merekapitalisasi dan merestrukturisasi sektor perbankan Indonesia pascakrisis 1998.
Pada awal 2000-an, ia melanjutkan karier di Farindo Investments dan mendirikan Quvat Management pada 2006, sebuah perusahaan dana ekuitas swasta. Sebelum terjun ke politik, karier terakhirnya adalah sebagai presiden komisaris di PT Graha Layar Prima (Blitz Megaplex) pada 2012-2014.
Thomas Lembong mulai terlibat dalam dunia politik pada 2013 sebagai penasihat ekonomi dan penulis pidato untuk Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo.
Kejaksaan Agung kini membeberkan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula pada periode 2015–2023 di Kementerian Perdagangan yang menjerat Thomas Lembong.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa malam, menjelaskan bahwa keterlibatan Lembong dimulai ketika pada tanggal 12 Mei 2015, rapat koordinasi antarkementerian menyimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula dan tidak membutuhkan impor gula.
Namun, pada tahun yang sama, Thomas Lembong, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perdagangan, memberikan izin persetujuan impor gula.
“Saudara TTL memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP, yang kemudian gula kristal mentah tersebut diolah menjadi gula kristal putih,” kata Qohar.
Persetujuan impor yang dikeluarkan Lembong tidak melalui rapat koordinasi dengan instansi terkait dan tanpa adanya rekomendasi dari kementerian-kementerian untuk mengetahui kebutuhan riil gula di dalam negeri.
Qohar menegaskan bahwa sesuai aturan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 57 Tahun 2004, pihak yang diizinkan mengimpor gula kristal putih hanyalah perusahaan badan usaha milik negara (BUMN).
Pada tanggal 28 Desember 2015, diadakan rapat koordinasi di bidang perekonomian yang memprediksi Indonesia pada tahun 2016 akan kekurangan gula kristal putih sebanyak 200.000 ton.
Dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional, pada November hingga Desember 2015, CS, yang merupakan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), memerintahkan bawahannya untuk melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula.
Delapan perusahaan tersebut adalah PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI. Perusahaan-perusahaan ini mengelola gula kristal mentah menjadi gula kristal putih, padahal mereka hanya memiliki izin pengelolaan gula rafinasi.
Seharusnya, dalam rangka pemenuhan stok dan stabilisasi harga, gula yang diimpor adalah gula kristal putih secara langsung, dan perusahaan yang dapat melakukan impor hanya BUMN. Namun, gula yang diimpor adalah gula kristal mentah.
Setelah itu, PT PPI seolah membeli gula tersebut, padahal gula itu dijual oleh delapan perusahaan tersebut kepada masyarakat melalui distributor dengan harga Rp16.000 per kilogram, yang lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET) saat itu, yaitu Rp13.000 per kilogram, dan tidak dilakukan operasi pasar.
“Bahwa dari pengadaan dan penjualan gula kristal mentah yang telah menjadi gula kristal putih tersebut, PT PPI mendapatkan fee (upah) dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengelola gula tersebut sebesar Rp105 per kilogram,” jelas Qohar.
Atas perbuatan keduanya, negara dirugikan sekitar Rp400 miliar.
Thomas Lembong dan CS kemudian ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini dan disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP.(*)