Penulis: Ali Syarief fusilatnews
Jokowi telah menjelma menjadi figur politik yang kontroversial dalam sejarah Indonesia. Ia memulai karir politiknya dengan citra sebagai “pemimpin rakyat,” namun seiring waktu, banyak yang mulai mempertanyakan integritas dan kompetensinya. Sebagian pihak menilainya sebagai sosok penipu dan pembohong, pelanggar konstitusi, serta pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Di balik janji-janji manis dan retorika politik, terungkap bahwa Jokowi seringkali tidak mampu memberikan hasil yang dijanjikan. Lebih jauh lagi, ia dianggap tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk mengurus negara sebesar Indonesia.
Namun, segala kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, dan manipulasi politik pasti akan menemui akhirnya. Inilah yang saya maksud dengan “jawaban dari langit.” Jawaban ini bukan dalam bentuk hukuman langsung dari lembaga hukum atau pengadilan manusia, melainkan hukum alam yang tak terelakkan — karma atau sunatullah yang akan berlaku setelah ia lengser dari kursi kekuasaan. Seperti halnya dalam kehidupan manusia, setiap tindakan memiliki konsekuensi, baik atau buruk, dan nasib Jokowi setelah kekuasaan akan menjadi cerminan dari konsekuensi tindakan-tindakannya selama memerintah.
Kebohongan dan Manipulasi: Jalan Penuh Ilusi
Jokowi kerap kali menghadirkan narasi yang penuh janji dan harapan bagi rakyat, tetapi banyak yang berakhir hanya sebagai ilusi. Salah satu contohnya adalah proyek mobil nasional Esemka, yang dipromosikan sebagai simbol kebangkitan industri otomotif Indonesia. Namun, bagi mereka yang memahami realitas industri, proyek ini tidak lebih dari propaganda kosong. Proyek-proyek ambisius lain, seperti pemindahan ibu kota ke Kalimantan atau pembangunan infrastruktur besar-besaran, juga kerap dipandang sebagai upaya pencitraan yang lebih mengedepankan popularitas daripada substansi.
Kebohongan semacam ini tidak akan hilang begitu saja. Hukum alam bekerja dengan cara yang adil. Setiap pemimpin yang mempermainkan harapan rakyat dengan janji kosong dan kebohongan akan, pada akhirnya, menerima konsekuensi dari tindakannya. Setelah Jokowi lengser, ia akan kehilangan tameng kekuasaan yang selama ini melindunginya dari kritik tajam dan pertanggungjawaban atas tindakannya. Inilah saatnya “jawaban dari langit” mulai bekerja, ketika kebenaran yang tertutupi mulai terungkap.
Pelanggaran Konstitusi: Harga dari Penyalahgunaan Kekuasaan
Selama masa jabatannya, Jokowi kerap kali dituduh melanggar konstitusi. Dari peranannya dalam pelemahan KPK hingga terlibat dalam skenario politik yang menguntungkan kepentingan pribadi dan kelompoknya, ia dianggap mengabaikan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan hukum. Pelanggaran konstitusi adalah pelanggaran terhadap sumpah seorang pemimpin untuk melindungi dan melayani rakyat. Hukum alam tak kenal kompromi; setiap pelanggaran terhadap hukum yang lebih besar akan membawa konsekuensinya sendiri.
Setelah tidak lagi berkuasa, Jokowi tidak akan bisa lagi berlindung di balik kekuasaannya untuk menutupi pelanggaran-pelanggarannya. Ia akan dihadapkan pada kritik dan penghakiman dari rakyat yang mulai sadar bahwa banyak keputusan dan kebijakannya telah merugikan mereka. Apa yang dulu dapat disembunyikan di balik kekuasaan akan terbuka, dan inilah bagian dari “jawaban dari langit” yang tak terhindarkan.
KKN dan Nepotisme: Warisan yang Akan Membayangi
Tak hanya soal kebohongan dan pelanggaran konstitusi, Jokowi juga dianggap terlibat dalam praktik-praktik KKN. Keterlibatan keluarganya dalam politik dan bisnis menimbulkan banyak pertanyaan tentang integritasnya sebagai pemimpin. Anak-anaknya mulai terjun ke dunia politik, sebuah langkah yang menciptakan kesan bahwa Jokowi tak lepas dari pola lama nepotisme yang ia klaim ingin lawan. Pada akhirnya, kesan bahwa ia menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dan keluarganya akan menjadi noda yang sulit dihapus dari sejarah kepemimpinannya.
Setelah ia tidak lagi berkuasa, jaringan KKN yang dibangunnya mungkin akan terurai. Ketika kekuasaan sudah tak lagi menjadi alat pelindung, kekuatan hukum dan sosial akan mulai bekerja untuk menilai tindakan-tindakan yang telah dilakukannya. Hukum alam akan menuntut pertanggungjawaban, dan kemerosotan citra sebagai pemimpin rakyat akan semakin jelas terlihat.
Ketidakmampuan Mengelola Negara: Titik Terendah Kepemimpinan
Di atas semua itu, Jokowi kerap kali dinilai tidak memiliki kompetensi yang memadai dalam mengelola negara. Banyak keputusan yang diambilnya tampak terburu-buru dan tanpa perhitungan matang, seperti kebijakan ekonomi yang tidak konsisten dan pembangunan yang lebih bersifat seremonial daripada substansial. Ketika seorang pemimpin tidak mampu mengelola negara dengan baik, rakyatlah yang menanggung bebannya, dan ini akan menjadi warisan buruk yang akan terus membayangi.
Setelah Jokowi lengser, berbagai kebijakan yang ia ambil akan dipertanyakan dan dipertimbangkan kembali. Apa yang dulu tampak sebagai keberhasilan bisa saja diungkap sebagai kegagalan besar. Di sinilah hukum alam kembali berlaku, di mana ketidakmampuan untuk menjalankan amanah sebagai pemimpin akan berbuah konsekuensi, baik dalam bentuk penilaian sejarah maupun kehidupan pasca-kekuasaan.
Jawaban dari Langit: Karma dan Sunatullah
Setiap tindakan, baik atau buruk, akan membawa konsekuensinya. Inilah yang disebut dengan karma dalam filosofi Timur atau sunatullah dalam pandangan Islam. Ketika Jokowi tak lagi memiliki kekuasaan, ia akan merasakan dampak dari semua tindakannya selama menjabat. Rakyat akan melihat, dan sejarah akan menilai dengan lebih jernih tanpa intervensi politik. Inilah jawaban dari langit yang akan datang, bukan dalam bentuk balas dendam politik, tetapi dalam wujud keadilan alam yang pasti datang kepada siapa saja yang telah menyalahgunakan kekuasaan.
Jokowi mungkin bisa menghindari kritik dan penghakiman selama masih berkuasa, tetapi ketika ia lengser, tak ada lagi yang bisa melindunginya dari hukum alam ini. Setiap kebohongan, pelanggaran, dan penyalahgunaan kekuasaan akan dibayar. Sunatullah akan berjalan, dan Jokowi akan menghadapi jawaban dari langit atas semua yang telah ia perbuat selama menjabat.