Pakar hukum tata negara dan politikus Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra tengah menjadi sorotan karena perusahaannya ikut mengajukan izin sebagai calon penambang pasir laut di Indonesia. Hal tersebut dilakukan Yusril melalui PT Gajamina Sakti Nusantara yang baru didirikannya pada Juni 2023 lalu.
Seperti diketahui, Yusril pernah menjabat sebagai Ketua Tim Hukum dan Wakil Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada pemilihan presiden 2024. Dia juga dikenal sebagai mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia periode 2001-2002 dan Menteri Sekretaris Negara periode 2004-2007.
Menanggapi ihwal perusahaannya yang ikut berburu izin tambang pasir laut, Yusril pun buka suara. Kepada Tempo, advokat dan akademisi hukum itu mengatakan, pasir yang berasal dari pengerukan sedimen bisa diekspor jika kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi. Dia pun menyebut jika ada negara yang membutuhkan ekspor pasir laut Indonesia.
“Singapura salah satu negara yang membutuhkan,” ucap Yusril kepada Tempo, Kamis, 26 September 2024.
Sebelumnya, dalam laporan Majalah Tempo berjudul “Pemburu Konsesi Penambangan Pasir Laut: Dari Hashim Djojohadikusumo sampai Yusril Ihza,” nama Yusril tertera dalam akta perusahaan PT Gajamina Sakti Nusantara. Gajamina ini tercatat menjadi salah satu perusahaan yang mengajukan izin sebagai calon penambang pasir laut, dalam laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Pada laporan tersebut, tercatat juga nama perusahaan kontraktor penyedot pasir atau mitra dredger dan calon pembelinya pasir laut dari PT Gajamina. Tertulis, mitra dredger perusahaan Yusril tersebut adalah Jan De Nul dengan calon mitra pembeli Hock Keng Heng Pte Ltd
Menurut Yusril, untuk menjalankan usaha di bidang pembersihan sedimen laut, dia memiliki dua pilihan untuk perusahaannya. Pilihan tersebut adalah mendirikan perusahaan baru atau mengubah klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia dari perusahaan lama menjadi usaha pembersihan sedimen. “Saya memilih mendirikan perusahaan baru,” kata dia.
Singapura Butuhkan Banyak Pasir Laut untuk Reklamasi
Di sisi lain, Singapura memang merupakan salah satu pasar terbesar untuk pasir laut. Menurut laporan Majalah Tempo “Hitung-hitungan Singapura Membeli Pasir Laut Indonesia,” negara yang sering disebut sebagai kota pulau itu sedang membutuhkan pasir dalam jumlah besar.
Selain digunakan sebagai bahan konstruksi bangunan, pasir juga diperlukan untuk reklamasi pantai. Negara tersebut pun terus memperluas daratannya dengan slogan yang terkenal, "More Land, More Homes, More Greenery".
Pada 2030, kebutuhan lahan di Singapura diperkirakan meningkat dari 71.400 hektare menjadi 76 ribu hektare. Saat ini, seperti dikutip dari The Straits Times, Singapura tengah bersiap membangun kembali pantai selatannya dengan garis pantai sepanjang 120 kilometer yang membentang dari Terminal Pasir Panjang hingga Terminal Ferry Tanah Merah.
Selain itu, Perdana Menteri Singapura, Lawrence Wong, mengumumkan dalam pidato Hari Nasional pada 18 Agustus 2024 bahwa rumah-rumah baru akan dibangun di kawasan tepi laut Marina East, Nicoll, serta di Long Island, lepas pantai timur. Proyek reklamasi ini akan menciptakan 800 hektare lahan, dua kali lipat dari luas Marina Bay, dan diperkirakan memakan waktu puluhan tahun, mirip dengan proyek reklamasi Marina Bay setelah kemerdekaan Singapura pada 1965.
Oleh karena itu, proyek-proyek jumbo ini membutuhkan pasokan pasir dalam jumlah besar. Perkiraannya, untuk menguruk atau mereklamasi lahan 1 kilometer persegi, diperlukan 37,5 juta meter kubik pasir atau sama dengan mengisi tiga setengah bangunan Istana Negara seperti dikutip dari tempo
Anthony Budiawan : 20 Tahun Dilarang, Jokowi Kembali Ekspor Pasir Laut, Dapat Dipidana Pasal 3 UU No 31/1999
Setelah 20 tahun lebih, keran ekspor pasir laut akhirnya dibuka kembali oleh Jokowi. Publik patut mencurigai, kebijakan buka keran ekspor pasir laut ini berlatar belakang rente ekonomi, yang menguntungkan segelintir oligarki dengan merusak ekosistem laut.
Pengerukan pasir laut untuk ekspor dengan alasan mengendalikan dan membersihkan
sedimentasi di laut tidak dapat diterima sama sekali.
Alasan ini jelas hanya akal-akalan Jokowi dan para antek oligarkinya, demi meraup untung miliaran dolar, tanpa peduli kerusakan ekosistem dan lingkungan hidup laut.
Alasannya, pertama, di penghujung pemerintahannya, Jokowi seharusnya tidak boleh mengambil kebijakan strategis dan kontroversial seperti ekspor pasir laut yang menguntungkan pihak lain atau korporasi, dan secara nyata merusak lingkungan hidup.
Dalam hal ini, Jokowi diduga secara terang-terangan telah menyalahgunakan kewenangannya dengan tujuan menguntungkan pihak lain atau korporasi.
Untuk itu, (kalau terbukti) Jokowi dapat dipidana, seperti bunyi Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Kenapa Jokowi nekat menjadi beking para oligarki di penghujung kekuasaannya, yang seharusnya sudah masuk tahap demisioner karena sudah ada presiden terpilih yang akan dilantik pada 20 Oktober yang akan datang?
Kenekatan Jokowi menjelang lengser, patut diduga, Jokowi juga menerima manfaat ekonomi dari kebijakannya yang sangat kontroversial tersebut, yang merusak ekosistem laut dan menguntungkan para oligarki.
Selain kebijakan ekspor pasir laut, Jokowi sebelumnya juga memberi status PSN (Proyek Strategis Nasional) untuk PIK-2 dan BSD, yang membuat penduduk setempat dapat diusir secara paksa. Secara komersial, proyek PSN PIK-2 dan BSD akan memberi keuntungan ratusan triliun rupiah kepada oligarki pengembang kedua kawasan PSN tersebut.qw
Kedua, kalau alasannya adalah untuk pembersihan sedimentasi laut, maka Jokowi seharusnya menugaskan BUMN atau pemerintah daerah yang berwenang di sepanjang jalur pembersihan sedimentasi laut tersebut untuk melakukan pembersihan sedimentasi di maksud.
Bukan sebaliknya, Jokowi malah memberi payung hukum pengelolaan sedimentasi laut dan izin ekspor pasir laut kepada swasta, dengan keuntungan jutaan sampai milaran dolar.
Oleh karena itu, alasan pembersihan sedimentasi laut yang diserahkan kepada swasta ini secara telanjang mata merupakan alasan mengada-ada, dan merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan pihak lain, dan merugikan keuangan negara.
Kebijakan ini seyogyanya mendapat perlawanan keras dari masyarakat, dengan melaporkan Jokowi kepada KPK atas dugaan telah melakukan pelanggaran Pasal 3 UU Tipikor di maksud di atas.***