Manajemen RS Medistra menyampaikan klarifikasi setelah heboh pemberitaan tentang dugaan adanya larangan penggunaan jilbab di lingkungan kerja mereka.
Klarifikasi disampaikan langsung oleh Direktur Utama DR Medistra Dr. Agung Budisatria, MM, FISQua RS melalui keterangan tertulis yang diterima JPNN.com, Senin (2/9/2024).
Klarifikasi ini terkait pemberitaan soal pengunduran diri salah satu dokter spesialis onkologi di RS Medistra lantaran adanya dugaan pelarangan penggunaan hijab bagi para karyawan rumah sakit tersebut.
Dokter tersebut mengetahui hal itu berdasarkan informasi yang diterima melalui rekan dan kerabat saat proses interview calon karyawan dokter umum yang dilakukan pada tanggal 28 Agustus 2024.
"Dengan ini kami hendak memberikan klarifikasi atas pemberitaan yang beredar agar tidak menimbulkan salah persepsi pembaca dan publik luas," kata Agung dikutip dari pernyataan tertulisnya.
Dalam klarifikasi itu, Agung awalnya menyampaikan permintaan maaf atas terjadinya kesalahpahaman dalam proses interview oleh jajarannya.
"Manajemen RS Medistra menyampaikan permohonan maaf dan menyesali terjadinya kesalahpahaman dari proses interview yang dilakukan oleh salah satu karyawan kami," ucap Agung.
Dia mengatakan sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan, RS Medistra selalu patuh dan tunduk terhadap peraturan yang berlaku, dan berkomitmen untuk senantiasa menghargai keberagaman serta memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh karyawan tanpa memandang gender, suku, ras, agama dan golongannya (SARA).
"RS Medistra telah memiliki peraturan kepegawaian yang mengatur tentang standar penampilan dan perilaku yang sama sekali tidak melarang penggunaan hijab bagi para pegawainya," ujar dia.
Ketentuan itu menurutnya diterapkan dalam kegiatan sehari-hari di RS Medistra, di mana terdapat banyak dokter spesialis maupun karyawan (dokter umum, perawat, tenaga penunjang medis maupun tenaga non medis) yang menggunakan jilbab saat bertugas.Agung menyampaikan bahwa RS Medistra sangat menghormati dan menghargai atas semua perbedaan keyakinan, serta menjamin hak seluruh karyawan untuk beribadah sesuai keyakinan masing-masing, salah satunya adalah dengan menyediakan sarana beribadah (masjid dan musala) serta menyelenggarakan kegiatan kerohanian.
"Atas kesalahpahaman yang terjadi, saat ini manajemen telah mengambil tindakan tegas dengan memberikan peringatan dan pembinaan kepada karyawan dimaksud, serta tidak lagi mengikutsertakan yang bersangkutan dalam tim interview calon karyawan RS Medistra," tuturnya.
Terakhir, Agung menyampaikan bahwa pihaknya berkomitmen untuk terus meningkatkan proses rekrutmen karyawan serta operasional rumah sakit agar dapat memberikan pelayanan terbaik bagi seluruh masyarakat seperti dikutip dari jpnn
Jika RS Medistra memang RS untuk golongan tertentu, sebaiknya jelas dituliskan saja kalau RS Medistra untuk golongan tertentu sehingga jelas siapa yang bekerja dan datang sebagai pasien. Sangat disayangkan sekali dalam wawancara timbul pertanyaan yang menurut pendapat saya ada rasis. Apakah ada standar ganda cara berpakaian untuk perawat, dokter umum, dokter spesialis, dan sub spesialis di RS Medistra? Terimakasih Atas perhatiannya.”
Ketika dikonfirmasi Republika.co.id, Dr dr Diani membenarkan bahwa surat tersebut memang dia tulis dan telah diserahkan salinan halusnya (soft copy) kepada RS Medistra.
“Memang benar itu tulisan keberatan sy ke managemen Medistra,” kata dia, Ahad (1/9/2024).
Surat tersebut, kata dia, semata ditulis dengan harapan Medistra lebih membuka terkait dengan persoalan hijab untuk perawat dan dokter. Dia mengaku, Medistra telah menghubunginya dan dirinya pun telah memberikan masukan terkait.
Tetapi dia menegaskan tak tahu lagi apa langkah RS Medistra ke depannya merespons kasus ini.
Dr dr Diani pun bersikap tegas menyikapi kebijakan yang dinilainya rasis tersebut. Bahkan, dia memutuskan keluar langsung setelah menyerahkan surat protes tersebut ke pihak direksi Medistra.
“Dan saya juga langsung keluar, tidak bekerja di Medistra lagi setelah peristiwa itu, tepatnya kemarin, Sabtu 31 Agustus 2024,” ujar dia.
Diani mengungkapkan, selama ini dan sejauh yang dia ketahui memang kebijakan larangan berhijab diberlakukan untuk perawat dan dokter umum, sementara untuk dokter spesialis dan subspesialias bebas mengenakan hijab. Diskriminasi ini yang dia tentang keras.
“Ini saya yang tidak setuju, mengapa ada perbedaa?,” kata dia.
Terkait kebijakan tersebut, beberapa bulan lalu Diani telah mempertanyakannya ke pihak manajemen yang mengesankan jawabannya boleh. Ternyata, saat ada wawancara dokter umum beberapa waktu lalu masih ada pertanyaan tentang membuka hijab.
“Itu kan wawancara yang tidak bermutu,” kata dia.
Tak heran, kata dr Diani, sejumlah perawat RS Medistra terlihat lepas hijab selama bekerja, tetapi mereka kembali mengenakannya setelah pulang dinas. Seakan tak ada pilihan lain, karena pihak RS memberlakukan kebijakan rasis tersebut.
Tak sedikit perawat yang memilih keluar akibat tak nyaman dengan aturan larangan hijab Medistra.
“Ya karena mungkin tidak ada pilihan lain. Cari kerja juga tidak mudah kan?,” ujar dia.
Diani pun membandingkan RS Medistra dengan RS lainnya baik swasta atau milik pemerintah. Di RSCM misalnya, semua perawat diperkenankan berhijab. Bahkan informasi yang dia terima di RS Budha Tzhu Chi sekalipun, perawat Muslimah diizinkan untuk mengenakan hijab.
Sebab bagaimanapun, kata dia, tak ada hubungannya jilbab dengan kerja-kerja kemedisan. Jilbab tak mengganggu pekerjaan sama sekali, meski ada aturannya model jilbab seperti apa yang mesti dikenakan. “
“Saya rasa pakai jilbab ya tidak masalah sebagai dokter dan perawat. Bahkan teman-teman pun operasi juga memakai hijab,” kata dia. ***