Seorang warga negara asing (WNA) asal China berinisial YH kini menghadapi ancaman hukuman penjara selama 5 tahun atas keterlibatannya dalam kegiatan penambangan emas ilegal di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Aktivitas penambangan ilegal ini menyebabkan kerugian negara yang mencapai Rp1,02 triliun akibat hilangnya cadangan emas.
Menurut Sunindyo Suryo Herdadi, Direktur Teknik dan Lingkungan dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), YH melakukan aksinya dengan memanfaatkan lubang tambang di area yang memiliki izin operasional, namun seharusnya hanya digunakan untuk pemeliharaan. Lubang ini kemudian dijadikan lokasi penambangan emas secara ilegal.
"Hasil dari penambangan ini dimurnikan, lalu dijual dalam bentuk ore atau bullion emas," jelas Sunindyo dalam konferensi pers yang diadakan pada Sabtu, 10 Mei, seperti dikutip dari CNBC Indonesia.
YH dijerat dengan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Ancaman hukumannya adalah penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar. Kasus ini juga sedang dikembangkan oleh pihak berwenang untuk menjerat pelaku dengan undang-undang lainnya.
Pada persidangan di Pengadilan Negeri Ketapang, yang berlangsung 28 Agustus 2024, terungkap bahwa YH berhasil menambang 774,27 kilogram emas dan 937,7 kilogram perak melalui aktivitas ilegalnya di Ketapang. Emas yang dihasilkan dari lokasi tersebut memiliki kandungan yang sangat tinggi, yaitu 136 gram emas per ton pada sampel batuan dan 337 gram emas per ton pada sampel batu tergiling.
Penambangan ini juga melibatkan penggunaan merkuri (Hg) untuk memisahkan bijih emas dari mineral lainnya, dengan kandungan merkuri yang ditemukan sebesar 41,35 mg/kg. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara mengungkap bahwa volume bijih emas yang ditambang mencapai 2.687,4 meter kubik.
Penambangan ini terjadi di antara wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) dua perusahaan, PT BRT dan PT SPM, yang belum mendapatkan persetujuan untuk produksi tahun 2024-2026.
Proses persidangan akan berlanjut dengan enam tahapan, termasuk saksi dari penasihat hukum, ahli, pembacaan tuntutan pidana, pembacaan nota pembelaan, serta replik dan duplik sebelum sampai pada pembacaan putusan seperti dikutip dari fajar
Kronologi Pertambangan Ilegal dan Temuan di Lokasi
Menurut hasil investigasi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, ditemukan bahwa volume batuan bijih emas yang tergali mencapai 2.687,4 m³. Penambangan ilegal ini dilakukan di area yang berada di antara Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dari dua perusahaan emas, yaitu PT BRT dan PT SPM.
Meski kedua perusahaan tersebut belum mendapatkan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk produksi tahun 2024-2026, area tersebut tetap dimanfaatkan oleh pelaku untuk menambang secara ilegal.
Berdasarkan uji sampel yang dilakukan di lokasi, hasilnya menunjukkan bahwa kandungan emas di wilayah tersebut sangat tinggi. Sampel batuan yang diambil di lokasi penambangan memiliki kadar emas mencapai 136 gram per ton, sedangkan batu yang sudah tergiling memiliki kadar emas yang lebih tinggi, yaitu 337 gram per ton. Kadar emas yang tinggi ini menambah nilai kerugian akibat penambangan ilegal yang dilakukan tanpa izin resmi.
Penggunaan Merkuri dalam Pengolahan Emas Ilegal
Fakta lain yang terungkap dalam persidangan adalah penggunaan merkuri (Hg) atau air raksa dalam proses pemisahan emas dari mineral lainnya. Penggunaan merkuri ini sangat berbahaya, baik bagi lingkungan maupun kesehatan manusia. Dari sampel hasil olahan di lokasi, ditemukan bahwa kandungan merkuri mencapai 41,35 mg/kg, yang termasuk dalam kategori kadar yang cukup tinggi.
Merkuri dikenal sebagai bahan beracun yang dapat mencemari tanah, air, dan udara. Paparan merkuri yang terus-menerus dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat sulit untuk dipulihkan. Selain itu, merkuri juga dapat masuk ke dalam rantai makanan, membahayakan kesehatan manusia, terutama bagi masyarakat sekitar yang mungkin bergantung pada sumber daya alam di wilayah tersebut.
Modus Penambangan Emas Ilegal
Pelaku penambangan ilegal memanfaatkan lubang tambang atau terowongan yang sebenarnya berada di area yang memiliki izin resmi. Terowongan ini seharusnya digunakan untuk pemeliharaan atau operasi penambangan yang sah, namun justru dieksploitasi oleh penambang ilegal untuk mengambil bijih emas. Setelah emas diproses melalui metode pemurnian, hasilnya kemudian dijual dalam bentuk ore atau bullion emas.
Modus seperti ini tidak hanya merugikan negara dari segi ekonomi, tetapi juga menciptakan celah yang merusak ekosistem dan tatanan hukum yang ada. Eksploitasi sumber daya alam tanpa izin resmi memperburuk kondisi pertambangan di Indonesia, terutama dalam hal penegakan hukum dan pengelolaan sumber daya mineral.
Sanksi Hukum Berdasarkan Undang-Undang Minerba
Kasus ini merujuk pada Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, yang mengatur tentang pelanggaran dalam aktivitas pertambangan tanpa izin. Berdasarkan undang-undang tersebut, pelaku yang terbukti melakukan penambangan ilegal dapat dijatuhi hukuman kurungan selama 5 tahun serta denda maksimal sebesar Rp 100 miliar. Hukuman ini mencerminkan besarnya dampak dan kerugian yang ditimbulkan oleh aktivitas penambangan tanpa izin.
Kasus ini masih terus dikembangkan oleh Kejaksaan Negeri Ketapang, yang berupaya mendalami berbagai aspek pidana terkait penambangan ilegal di wilayah tersebut. Proses hukum dijadwalkan untuk melalui enam tahap persidangan. Tahapan tersebut mencakup kesaksian dari pihak penasihat hukum, penyajian ahli, pembacaan tuntutan pidana (requisitoir), pengajuan nota pembelaan (pleidooi), pengajuan tanggapan (replik dan duplik), hingga sidang terakhir yang akan menghasilkan pembacaan putusan.
Sidang ini diharapkan dapat menjadi preseden penting dalam upaya penegakan hukum terhadap pelaku pertambangan ilegal di Indonesia, yang sering kali melibatkan pihak asing maupun lokal. Aktivitas pertambangan yang tidak sesuai aturan tidak hanya merugikan negara secara ekonomi, tetapi juga merusak lingkungan dan menciptakan masalah sosial bagi masyarakat yang tinggal di sekitar area pertambangan.***