Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Raja Jawa Jadi Sorotan Dunia, Saiful Mujani: Demokrasi Bukan Isu Usang, Publik Tetap Peduli

 

Saiful Mujani, seorang peneliti dan Guru Besar Politik Indonesia, kembali mengomentari situasi demokrasi di Indonesia.

Ia menyinggung pemberitaan majalah internasional The Economist, yang menyatakan bahwa seorang "raja Jawa" telah membuat demokrasi Indonesia berada dalam keadaan darurat.

"Majalah top dunia, the economist, sampai memberitakan bahwa raja jawa bikin demokrasi Indonesia dalam keadaan darurat," ujar Saiful dalam keterangannya di aplikasi X @saiful_mujani (1/9/2024).

Saiful menegaskan bahwa anggapan yang menyatakan isu demokrasi tidak penting bagi publik adalah keliru.

"Ada yang bilang isu demokrasi ga penting bagi publik," cetusnya.

Ia menunjukkan bahwa massa turun ke jalan sebagai respons terhadap ancaman terhadap demokrasi.

"Ngarang! buktinya massa turun ke jalan karena demokrasi terancam," tukasnya.

Pada akhirnya, kata Saiful, memaksa DPR dan pemerintah untuk tidak melawan keputusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap membela demokrasi.

"Massa membuat DPR dan pemerintah urung melawan keputusan mahkamah konstitusi yang membela demokrasi," Saiful menuturkan.

Saiful menekankan bahwa pandangan yang menganggap demokrasi tidak relevan atau tidak penting adalah usang, dan gerakan massa yang membela demokrasi membuktikan sebaliknya.

"Logika demokrasi ga penting dah usang bos!," tandasnya.

Diketahui sebelumnya, dalam pernyataan lewat piadtonya, Bahlil meminta seluruh kader partai berlambang pohon beringin untuk tidak main-main dengan 'Raja Jawa'.

Bahlil bahkan menyebut konsekuensi dari 'main-main' dengan 'Raja Jawa' bisa membawa celaka.

"Kita (kader Golkar) harus lebih paten lagi, soalnya Raja Jawa ini kalau main-main, celaka kita (kader Golkar)," ujar Bahlil (21/8/2024) kemarin.

"Saya mau kasih tahu saja, jangan coba-coba main-main barang ini. Waduh, ini ngeri-ngeri sedap barang ini, saya kasih tahu," tambahnya.

Bahlil menyatakan tak perlu mengungkapkan siapa maupun risiko apa yang sudah terjadi saat mempermainkan sesuatu yang dia istilahkan dengan 'Raja Jawa'.

"Waduh, ini sudah banyak, sudah lihat barang ini kan? Ya, tidak perlu saya ungkapkanlah. Enggak perlu," ucapnya.

Menurutnya, para kader Golkar sudah melihat sendiri efek yang terjadi.

"Kita (para kader) sudah bersepakat Golkar mendukung pemerintah. Jangan pagi mendukung, sore setengah mendukung, malam bikin lain. Ini saya jujur saja. Saya enggak punya kepentingan apa-apa pribadi, kepentingan saya ke depan adalah Golkar lebih baik dari sekarang," Bahlil menuturkan seperti dikutip dari fajar 


Jokowi, Representasi 'Wong Cilik' jadi Dinasti Politik

Menurut laporan The Economist, Jokowi saat pertama kali memenangkan pemilihan presiden pada 2014, hanyalah seorang pengusaha kecil. 

Ia tak seperti presiden lainnya yang berasal dari dinasti militer maupun politik.

"Dia tampak berbeda. Dia seorang pengusaha kecil. Anak-anaknya, klaimnya, tidak memiliki ambisi politik," tulis The Economist.

Namun, letupan kecil yang mengubah segalanya pun terjadi tak lama kemudian hingga pada akhirnya mengubah citra Jokowi dari representasi 'Wong Cilik' menjadi dinasti politik.

Menurut The Economist, Jokowi tampaknya dihantui kecemasan akan upaya pemakzulan yang pernah dilontarkan sejumlah pihak bahkan sebelum ia menginjakkan kaki di istana kepresidenan.

"Saat memenangkan pemilihan yang ketat atas Prabowo Subianto, seorang pensiunan jenderal dan mantan menantu Soeharto, Jokowi menolak untuk memberikan kursi kabinet dengan imbalan dukungan di legislatif dari sepuluh partai politik Indonesia, dengan berjanji untuk menunjuk pemerintahan teknokrat. Enam pihak menanggapi dengan membahas pemakzulan Jokowi bahkan sebelum dia menginjakkan kaki di istana kepresidenan," tulis media tersebut.

"Pengalaman itu tampaknya telah menghantui Jokowi," lanjut media itu.

Setelah menjabat, tulis The Economist, pemerintahan Jokowi pun memanipulasi perpecahan di dalam partai-partai oposisi "untuk memasang komite eksekutif yang mendukungnya."

Pada 2016, para pendukung itu pun masuk ke dalam koalisi dan kabinet Jokowi. Pada 2019, papar The Economist, Jokowi juga mengambil langkah mengejutkan dengan menunjuk Prabowo sebagai menteri pertahanan setelah mengalahkan dia di Pilpres tahun itu.

Tak sampai situ, Jokowi serta-merta membawa Partai Gerindra milik Prabowo masuk ke dalam kabinet sehingga memperluas koalisinya.

"Selama pandemi, dia bermain-main dengan gagasan untuk memperpanjang masa jabatannya melalui deklarasi keadaan darurat, atau mengubah konstitusi untuk memungkinkannya mencalonkan diri untuk ketiga kalinya. Tetapi para pemimpin partai politik menolak gagasan itu, dan Jokowi mengubah arah," tulis The Economist.

"Dalam pemilihan presiden awal tahun ini, dia mendukung Prabowo, yang memilih Gibran Rakabuming Raka selaku putra sulung Jokowi, sebagai wakil presidennya. Mereka akan menjabat pada 20 Oktober," lanjut media tersebut.***

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Onlineindo.TV | All Right Reserved