Rakyat Indonesia sudah turun ke jalan menyuarakan revolusi untuk menangkap dan mengadili Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Rakyat menilai Jokowi melanggengkan dinasti politik untuk keluarganya.
“Rakyat inginkan revolisi, tanggap dan akan diadili oleh Mahkamah Rakyat,” kata Koordinator Kajian Politik Merah Putih Sutoyo Abadi kepada redaksi SuaraNasional, Senin (2/9/2024).
Sutoyo menilai seorang Jokowi dipermukaan tampak santun, sederhana dan bersahaja namun persis di bawah permukaan adalah manusia bengis, kejam dan tiran.
Kesan lembut dan sederhana ternyata menyimpan sifat buruk dan sadis.
“Menyeret kondisi Indonesia dalam kondisi darurat. Jokowi menjadi sumber segala malapetaka. Yang kita butuhkan saat ini bukan, kompromi, negosiasi, cita cipta damai yang mustahil melainkan harus ada perlawanan untuk menghentikan dampak kerusakan yang meluas,” paparnya.
Ia meminta rakyat untuk menghilangkan rasa takut, karena ketakutan yang di besar besarkan hanyalah rekayasa rezim yang tinggal menunggu waktu, tidak ada lagi tempat bersembunyi, pilihan hanya melarikan diri atau menyerah.
“Perlawanan rakyat semesta dan mahasiswa tidak ada jalan mundur sudah berada pada skenario alam karena perjuangan dalam kondisi darurat untuk keadilan dan moralitas sesungguhnya sedang menapaki jalan meraih keunggulan pada papan caturnya,” pungkasnya.
Menyongsong Akhir Jokowi Buruk: Tangkap dan Adili!
Bahwa sisa waktu masa jabatan Presiden Jokowi tidak sampai dua bulan lagi. Ternyata bukannya melakukan pembenahan untuk mengakhiri masa jabatan dengan baik, Jokowi malah semakin bernafsu mewariskan kekuasaan kepada keluarga dan mempertahankan kepentingan oligarki. Sehingga tak henti membuat kebijakan sarat kegaduhan atau huru-hara politik.
Bahwa huru-hara itu antara lain merekayasa Gibran dan Kaesang menjadi Wapres dan calon Kepala Daerah, memaksakan perpindahan IKN termasuk peringatan HUT RI ke-79 di IKN, merekayasa proyek-proyek swasta mendapat predikat PSN, seperti PIK-2 dan BSD, menyandera PDIP dan Nasdem, mengobrak-abrik Partai Golkar, serta mengancam partai dan tokoh politik lainnya, guna memuluskan agenda politik oligarki nepotis.
Bahwa dugaan praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme telah menjadi-jadi, sehingga terkesan menjadi “peliharaan” rezim Jokowi.
Ratusan bahkan mungkin ribuan triliun Rp uang negara diduga dirampok tanpa rasa berdosa. Kejaksaan Agung dan KPK tampaknya tumpul menyeret orang-orang dekat Jokowi yang terlibat dalam tindak KKN uang rakyat ini ke meja hijau.
Bahwa di samping tumpul terhadap kroni Jokowi, Kejaksaan Agung dan KPK juga menjalankan agenda politik penyanderaan terhadap partai-partai, pejabat-pejabat negara “terpilah dan terpilih” dalam rangka menjalankan agenda politik dan dominasi kekuasaan otoritatif Jokowi.
Bahwa akhir masa jabatan Jokowi meninggalkan hutang lebih dari Rp 8.800 triliun. Dibandingkan akhir masa jabatan SBY yang hanya Rp 2.608 triliun, maka warisan ini menjadi beban berat dan penindasan terhadap rakyat dan bangsa Indonesia di masa depan. Ketidakbecusan dan kegagalan mengelola ekonomi harus mendapatkan sanksi yang setimpal.
Bahwa partai politik yang telah dijinakkan dan dikuasai dengan “sistem sandera nirmoral” sudah tidak berfungsi sebagai penyalur aspirasi rakyat. Mereka semata telah menjadi pendukung kepentingan pemerintah.
Sistem Pemilu proporsional telah menghasilkan anggota legislatif yang tidak kritis dan berkualitas, dan hanya memperkuat oligarki kekuasaan nepotis.
Bahwa Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2024 lebih pada kegiatan rutin dan seremonial belaka, tak bernilai dan tidak menampilkan “pertanggungjawaban” kerja, serta sarat pelanggaran konstitusi, UU dan peraturan yang berlaku.
Sudah sepatutnya rakyat menilai pemerintahan Jokowi sangat bobrok dan sewenang-wenang, yang hanya melayani kelompok oligarkh, serta jauh dari menyejahterakan kehidupan rakyat.
Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka Petisi-100 menyatakan sikap sebagai berikut:
Pertama, Jokowi dan rezimnya telah gagal menunaikan amanat untuk memimpin negara dengan benar, jujur, professional, dan bertanggungjawab, sekaliguas telah melanggar prinsip-prinsip moral Pancasila. Daya rusak Jokowi atas bangsa dan rakyat Indonesia sangat luar biasa. Atas kegagalan ini Jokowi harus secepatnya diberhentikan.
Kedua, segera proses dan adili Jokowi ke hadapan hukum atas dugaan perbuatan melawan hukum dan dugaan KKN yang dilakukan sendiri maupun bersama-sama. Jokowi melanggar sumpah jabatan, menginjak-injak konstitusi, dan mengangkangi sejumlah ketentuan peraturan perundang-undangan, serta berkhianat dengan menempatkan negara dalam cengkeraman konglomerat penghisap dan negara asing khususnya Republik Rakyat China.
Ketiga, mengubah sistem Pemilu menjadi Sistem Distrik, sehingga terjadi penyederhanaan sistem kepartaian secara alamiah, menghasilkan anggota legislatif dan pemimpin yang kritis dan berkualitas, serta dapat lebih memfungsikan partai politik sebagai penyalur aspirasi dan kepentingan rakyat.
Keempat, mendesak TNI dan Polri lebih memihak rakyat dibanding cenderung memihak kepentingan penguasa dan/atau konglomerat. TNI dan Polri dituntut melindungi dan berjuang bersama masyarakat melawan kezaliman rezim oligarki nepotis.
Kelima, menggugah dan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk peduli dan bergerak bersama memperbaiki bangsa dan negara menuju kehidupan politik yang lebih demokratis, bermoral dan bertanggungjawab. Gerakan kekuatan rakyat semesta atau people power menjadi suatu keniscayaan.
Demikian Pernyataan Sikap Petisi-100 ini disampaikan dalam rangka upaya perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara, menegakan kedaulatan rakyat, serta sebagai wujud tanggung jawab warga negara kepada Tuhan Yang Maha Esa seperti dikutip dari suaranasional
Beberapa Hari lalu trending di X TangkapMulyono Trending di Medsos
Mulyono yang merupakan nama kecil Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus menjadi sorotan publik di akhir masa jabatannya. Jokowi dinilai terlalu menghalalkan segala cara dalam menjaga eksistensi kekuasaannya.
Mulai dari rencana revisi UU Pilkada hingga mengobok-obok partai politik yang dianggap tidak sejalan dengan dia. Kemudian sikap glamor keluarga presiden yang seakan mengejek rakyat di tengah kesulitan hidupnya juga ramai dibicarakan publik.
Hal itu memicu demonstrasi besar-besaran di sejumlah daerah sejak Kamis (22/8) lalu. Bahkan sikap represif aparat keamanan dalam menangani demo juga menjadi sorotan netizen.
Terkait itu, tanda pagar (tagar) atau #TangkapMulyono kini memuncaki trending topik di media sosial X Indonesia. Netizen menyoroti berbagai aksi mahasiswa yang mengawal demokrasi, namun mendapat tindakan represif dari aparat keamanan.
Alhasil, banyak netizen yang menyerukan tangkap atau adili Jokowi alias Mulyono ketika sudah tak lagi menjabat presiden.
“Gemakan ke seluruh dunia #TangkapMulyono Segera!!” tulis akun @f-fathur sembari memposting gambar bertuliskan “#TangkapMulyono Sesuai Tap MPR No XI/MPR/1998”.
Tap MPR No XI/MPR/1998 berisi tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Keluarnya Ketetapan MPR ini ketika lembaga tersebut masih menyandang status sebagai lembaga tertinggi negara (pra Amandemen UUD 1945).
Latar belakang keluarnya Tap MPR ini adalah pengusutan KKN dari rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto.
Dalam pasal 4 Tap MPR itu, disebutkan “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia”.
Artinya jika merujuk pasal ini, siapapun warga negara termasuk presiden jika terbukti melakukan KKN maka bisa diadili.
Selanjutnya postingan netizen banyak disertai dengan aksi mahasiswa saat Jokowi melakukan kunjungan ke Yogyakarta pada Rabu (28/8).***