Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia Jusuf Kalla kembali menyampaikan kritik tajamnya kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim.
Menurut JK, demikian Jusuf Kalla disapa, pendidikan di Indonesia kacau karena kepemimpinan menterinya.
Demikian Jusuf Kalla saat pidatonya pada acara Muktamar dan Reuni Akbar Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia di Jakarta pada Jumat (13/9/2024).
“Pendidikan kita agak kacau akibat kepemimpinan yang tidak benar daripada menterinya,” ucap JK.
Menurut JK dampak kepemimpinan Nadiem Makarim yang tidak benar memang tak langsung dirasakan saat ini, tetapi 5 hingga 10 tahun yang akan datang.
“Tentu kita harus prihatin, kita harus usaha lebih baik,” ujar JK.
Sebelumnya dikutip dari TribunNews, Jusuf Kalla juga pernah mengkritik Mendikbudristek Nadiem Makarim saat menjadi pembicara diskusi bertema pendidikan yang disiarkan di kanal YouTube TV Parlemen.
JK menyebut menteri pendidikan selama ini adalah orang yang hebat dan memiliki prinsip pendidikan Indonesia, seperti Ki Hajar Dewantoro, Soemantri, Syarief Thayeb, Daoed Joesoef, hingga Fuad Hassan.
Namun lebih lanjut, JK justru menyampaikan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim tidak memiliki pengalaman di bidang pendidikan.
Tidak hanya itu, JK juga menuturkan Nadiem jarang ke kantor dan tidak pernah blusukan ke daerah-daerah.
“Ada kemudian Mas Nadiem, yang tidak punya pengalaman guru, bidang pendidikan, tidak pernah datang ke daerah, jarang ke kantor,” kata JK seperti dikutip dari kompas
Berapi-api JK Kritik Habis Nadiem dan Kurikulum Merdeka, Semprot soal Ujian Nasional: Merdeka Apanya, Belajar Juga Tidak
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) memberikan kritik pedas terhadap Menteri Pendidikan Nadiem Makarim dan kebijakan Kurikulum Merdeka yang digagasnya.
Hal tersebut disampaikan JK dalam diskusi bertajuk "Menggugat Kebijakan Anggaran Pendidikan" yang digelar di Jakarta, Jumat, 7 September 2024.
Dalam acara yang diselenggarakan Komisi X DPR RI dan Kemendikbudristek, JK mempertanyakan efektivitas kebijakan pendidikan yang berkiblat pada negara-negara seperti Finlandia hingga Swedia.
Menurut JK, situasi sosial dan ekonomi di negara-negara tersebut berbeda jauh dengan Indonesia, sehingga kebijakan pendidikan yang diterapkan di sana tidak relevan untuk diterapkan di Indonesia.
"Kenapa kita tidak belajar dari Cina dan India? Jangan kita belajar ke Finlandia. Jadi, nanti kalau Bapak Menteri mau kirim orang studi banding, jangan ke Finlandia, jangan ke Swedia. Tidak ada gunanya, itu cuma mimpi.
Pergi ke Cina, ke Korea, ke Jepang, ke India, lihat di sana," kata JK keras dalam pidatonya, dikutip Senin (9/9/2024).
JK mencontohkan India sebagai negara dengan sistem pendidikan yang sukses, di mana banyak lulusan India menempati posisi penting di perusahaan-perusahaan besar dunia.
“Hampir semua perusahaan besar di Amerika CEO-nya dari orang India, mau Microsoft, mau Twitter, dari India semua.
Bahkan nanti Wakil Presiden Amerika bisa jadi Presiden, Kamala Harris, ibunya orang India. Perdana Menteri Inggris dulu dari India, Walikota London juga orang India. Artinya, ada sesuatu di India, pendidikan di sana luar biasa hebat,” tambah JK.
Selain itu, JK juga mengkritik soal penghapusan Ujian Nasional yang sebenarnya penting untuk mengukur kemampuan serta memacu siswa untuk belajar.
Menurutnya, Kurikulum Merdeka yang memberikan kebebasan belajar tanpa adanya ujian atau kontrol yang ketat tidak akan menghasilkan siswa yang kompetitif. "Ujian Nasional, Anda bisa lihat di sana, konservatif.
Kapan kita belajar kalau tidak ada ujian? Kalau tidak ada ujiannya, kapan belajarnya?" ucap JK. JK melanjutkan kritiknya dengan menyatakan bahwa konsep Merdeka Belajar justru membuat siswa tidak belajar dengan serius.
“Merdeka, merdeka apa? Merdeka tidak, belajar juga tidak. Apalagi kalau Merdeka malah dibiarkan begitu saja, tidak ada kontrol,” lanjutnya.
JK juga menyoroti kebijakan pemerintah terkait sekolah kejuruan (SMK) yang belum mampu mengatasi masalah ketenagakerjaan.
Ia mengungkapkan bahwa banyak lulusan SMK justru berakhir menjadi pekerja informal, seperti caddy di lapangan golf.
“Kita punya ide bikin 15.000 SMK, sekarang ada 10.000 SMK swasta dan 5.000 pemerintah.
Tapi 75% lulusannya malah jadi caddy di lapangan golf. Dari 4 caddy, 3 tamat dari SMK. Jadi, mana yang salah? Ekonomi salah, pendidikan juga salah. Dua-duanya salah,” ujar JK mengakhiri kritiknya.***