Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Revisi UU Pilkada Tak Sesuai Putusan MK Memperumit Penyelenggaraan Pilkada 2024

Revisi Undang-Undang (UU) Pilkada yang tidak

sesuai perintah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) akan memperumit

penyelenggaraan Pilkada serentak 2024.

Sebab, proses pencalonan kepala daerah yang tak sesuai perintah putusan MK,

pada akhirnya bisa digugat melalui sengketa perselisihan hasil pemilihan

umum (PHPU).

“Iya ini akan berpindah objek. Pasti dia akan menjadi objek sengketa. Kita

sudah tau ya ada beberapa putusan MK yang diabaikan di dalam konteks

pemilu, dan pada akhirnya dibatalkan MK,” ujar Pakar Hukum Tata Negara U

niversitas Andalas Charles Simabura, Rabu (21/8/2024).

Menurut Charles, upaya DPR mengakali putusan MK dengan revisi UU Pilkada

justru bisa merugikan banyak pihak.

Kondisi ini juga membuat ongkos penyelenggaraan Pilkada serentak 2024

menjadi semakin besar, karena munculnya berbagai persoalan.

“Proses pemilu itu keabsahannya menjadi inkonstitusional, bisa di bawa ke MK

dan justru ini akan semakin merugikan semua pihak. Biaya politiknya juga pasti

menjadi sangat besar kalau seandainya penyelenggaraan pilkada itu

bertentangan dengan putusan MK,” kata Charles.

Dalam rapat yang berlangsung hingga siang ini, Panitia Kerja (Panja) revisi UU

Pilkada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI berupaya mengakali Putusan MK

Nomor 60/PUU-XXII/2024, yang melonggarkan ambang batas (threshold)

pencalonan kepala daerah untuk semua partai politik peserta pemilu.

Baleg mengakalinya dengan membuat pelonggaran threshold itu hanya berlaku

buat partai politik yang tak punya kursi DPRD.

Ketentuan itu menjadi ayat tambahan pada Pasal 40 revisi UU Pilkada yang

dibahas oleh panja dalam kurun hanya sekitar 3 jam rapat.

Sementara itu, Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada yang mengatur threshold 20

persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pileg tetap diberlakukan bagi

partai-partai politik yang memiliki kursi parlemen.

"Disetujui Panja 21 Agustus 2024 Usulan DPR pukul 12.00 WIB," tulis draf revisi

itu.

Padahal, justru pasal itu lah yang dibatalkan MK dalam putusannya kemarin.

Tidak ada perlawanan berarti dari para anggota panja untuk membela putusan

MK yang sebetulnya berlaku final dan mengikat.

Sebelumnya, dalam putusannya, MK menyatakan bahwa threshold pencalonan

kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai

politik/gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya atau 20 persen

kursi DPRD.

MK memutuskan, threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik

disamakan dengan threshold pencalonan kepala daerah jalur

independen/perseorangan/nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan

42 UU Pilkada.

MK menegaskan, hal ini demi menghindari berjalannya demokrasi yang tidak

sehat karena threshold versi UU Pilkada rentan memunculkan calon tunggal.

MK sendiri sudah berulang kali menegaskan bahwa putusan Mahkamah

berlaku final dan mengikat.

Majelis hakim konstitusi sudah mewanti-wanti konsekuensi untuk calon kepala

daerah yang diproses dengan pembangkangan semacam itu.

"Sesuai dengan prinsip erga omnes, pertimbangan hukum dan pemaknaan

Mahkamah terhadap norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 (tentang

Pilkada) mengikat semua penyelenggara, kontestan pemilihan, dan semua

warga negara," kata Wakil Ketua MK Saldi Isra membacakan pertimbangan

putusan itu, Selasa (20/8/2024).

"Dengan demikian, jika penyelenggara tidak mengikuti pertimbangan dalam

putusan Mahkamah a quo, sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang

berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilihan, calon kepala daerah dan

calon wakil kepala daerah yang tidak memenuhi syarat dan kondisi dimaksud,

berpotensi untuk dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah," tegas dia.

Sutrisno Pangaribuan: Lakukan Permufakatan Jahat, Bubarkan DPR RI!

Reaksi cepat dari Badan Legislasi (Baleg) DPR RI melakukan revisi UU Pilkada, membuatnya kehilangan legitimasi moral sebagai perwakilan rakyat. Sehari pasca putusan MK dibacakan, DPR RI yang mayoritas berasal dari partai politik yang ‘tersandera’ membahas revisi UU Pilkada secara kilat dengan pemerintah.

“DPR RI melakukan pemufakatan jahat bersama pemerintah melakukan revisi UU Pilkada, melawan putusan MK. Pembangkangan konstitusi dan penyesatan hukum dilakukan secara bersama dan sengaja oleh DPR RI dan pemerintah,” kata Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas) Sutrisno Pangaribuan, Rabu (21/8).

Sutrisno menilai apa yang dilakukan oleh DPR RI dengan mengubah UU Pilkada pasca putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 dan putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 dibacakan merupakan hal yang tidak bisa ditolerir. Putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 yakni tentang ambang batas atau threshold calon kepala daerah. Sedangkan putusan MK nomor 70/PUU-XXII/2024 terkait batas usia calon kepala atau wakil kepala daerah yakni hitungan umur 30 tahun dilakukan saat penetapan calon kepala dan wakil kepala daerah.

“Konsekuensi putusan tersebut harusnya mutlak bahwa partai yang memiliki threshold di bawah 20 persen dapat mengajukan calon kepala daerahnya. Di DKI Jakarta, misalnya, PDIP yang hanya memiliki 15 kursi atau setara 14% dari total kursi di DPRD DKI Jakarta sebanyak 106. Sesuai dengan putusan MK, untuk mengajukan calon di Pilkada dengan jumlah pemilih tetap di 6 juta-12 juta cukup memiliki 7,5% kursi di DPRD,” ujarnya.***

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Onlineindo.TV | All Right Reserved