Hari ketiga secara berturut-turut di Kota Makassar, puluhan mahasiswa yang menyebut dirinya dari aliansi mahasiswa Megarezky Makassar menggelar aksi di Fly Over Km 4, Sabtu (24/8/2024).
Dengan membentangkan spanduk bertuliskan, "Lengserkan Jokowi, selamatkan demokrasi" mereka berdiri gagah di bawah Fly Over.
Mereka juga membakar ban bekas sebagai simbol semangat perlawanan kepada rezim yang dianggap tidak pro lagi kepada rakyat.
Yang menarik lagi, tepat di atas lampu lalulintas Fly Over, terdapat spanduk dengan tulisan, "Makassar tidak tunduk pada Raja Jawa".
Kalimat tersebut seakan menjadi respons dari pidato Bahlil Lahadalia pada Musyawarah Nasional XI Partai Golkar di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (21/8/2024) kemarin.
Spanduk itu semakin membakar semangat juang para aktivis dalam memberikan perlawanan.
Setelah menyampaikan orasi ilmiahnya di bawah Fly Over, puluhan massa aksi tersebut kemudian bergeser ke depan kantor DPRD Sulsel.
Massa aksi yang mayoritas mengenakan dress code hitam-hitam ini lanjut membakar ban bekas tepat di pintu masuk kantor DPRD Sulsel.
Tidak sedikit juga di antara mereka menggedor-gedor pagar besi hitam yang menjadi tameng agar tak sembarang orang masuk ke dalam gedung DPRD Sulsel.
"Kami mendesak Ketua DPRD Sulsel menyatakan sikap untuk mendukung dan membersamai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)," teriak orator.
Ia juga menegaskan menolak segala bentuk kebijakan yang hanya menguntungkan keluarga Presiden Jokowi dan koleganya.
"Kami memberikan kartu merah kepada Presiden Jokowi sebagai simbol pemberhentian jalan dalam membentuk dinasti di Indonesia," sebutnya seperti dikutip dari fajar
Pernyataan Jokowi Kontradiktif Soal Putusan MK, Dulu Katanya Final dan Mengikat, Sekarang…
Presiden Joko Widodo alias Jokowi menuai sorotan usai menanggapi keputusan DPR RI yang menganulir putusan Mahkamah Konstitusi atau MK soal UU Pilkada. Jokowi mengatakan pihaknya menghormati semua proses yang berlangsung di setiap lembaga.
Pernyataan Jokowi jelas kontradiktif, sebab bukan sekali ia mengatakan bahwa putusan MK adalah final dan mengikat atau final and binding. Jokowi tampaknya membiarkan ketuk palu lembaga konstitusi tertinggi itu dikangkangi oleh lembaga wakil rakyat.
Sebelumnya, MK pada Selasa, 20 Agustus 2024 telah memutuskan ambang batas pencalonan kandidat Pilkada bukan lagi berdasarkan persentase kursi di parlemen. Akan tetapi ditentukan berdasarkan perolehan suara sah partai politik (parpol) atau gabungan parpol.
Ada empat klasifikasi besaran suara sah yang ditetapkan MK dalam putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 itu, yaitu; 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen dan 6,5 persen, sesuai dengan besaran DPT di daerah terkait. Putusan itu termuat dalam putusan MK 60/PUU-XXII/2024.
Namun, sehari pasca putusan, yakni pada Rabu, 21 Agustus 2024, Badan Legislasi atau Baleg DPR menggelar rapat untuk membahas RUU Pilkada. Dalam rapat, Baleg menyatakan tetap menggunakan ambang batas 20 persen kursi di parlemen bagi parpol yang hendak mengusung calonnya di pilkada.
Jokowi pernah sebut putusan MK final dan mengikat
Jokowi pernah menyebut bahwa putusan MK adalah final dan mengikat. Kata-kata pamungkas itu jadi andalan Jokowi saat menanggapi keputusan MK menolak sengketa Pilpres dalam dua musim terakhir, 2019 dan 2024.
Pada Pilpres 2019, kala dirinya yang didampingi Ma’ruf Amin menang sebagai kandidat presiden, lawannya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, tak terima dan menggugat ke MK. Setelah MK memutuskan menolak gugatan sengketa Pilpres, ketika itulah Jokowi menyebut keputusan MK final dan mengikat.
“Putusan MK adalah putusan yang bersifat final dan sudah seharusnya kita semuanya menghormati dan laksanakan bersama-sama. Keberhasilan bangsa Indonesia menyelenggarakan pemilu yang jujur dan adil patut kita syukuri bersama,” ujarnya di Lanud Halim Perdana Kusuma Jakarta, Kamis, 27 Juni 2019 dilansir dari Antara.
Pernyataan yang nyaris persis juga disampaikan Jokowi kala menanggapi keputusan MK yang menolak gugatan sengketa Pilpres 2024. Gugatan itu diajukan pasangan Anies Baswedan-Muahimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md yang tak menerima kemenangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Saat itu Jokowi disebut cawe-cawe dalam memenangkan Gibran, yang adalah putra sulungnya. Pemerintah disebut terlibat mulai dari kecurangan, intervensi aparat, politisasi bansos, mobilisasi aparat, hingga ketidaknetralan kepala daerah.
Jokowi mengatakan pemerintah menghormati putusan MK setelah lembaga tinggi tersebut menolak seluruh gugatan sengketa hasil Pilpres 2024. Di saat yang sama, Presiden mengatakan berbagai tuduhan kepada pemerintah telah dinyatakan tidak terbukti.
“Pemerintah menghormati putusan MK yang final dan mengikat,” ujar Presiden dalam keterangan yang diterima Tempo, pada Selasa, 23 April 2024.
Kini pernyataan Jokowi kontradiktif
Kendati dua kali menyebut putusan MK final dan mengikat, komentar serupa ternyata tak dinyatakan oleh Jokowi kala menanggapi upaya DPR mengabaikan ketentuan terbaru MK soal UU Pilkada dalam putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024.
Selain soal ambang batas parlemen yang dihapus, Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 juga melepehkan putusan Mahkamah Agung atau MA soal memperbolehkan kandidat belum genap 30 tahun saat pendaftaran mendaftarkan diri sebagai calon gubernur atau wakilnya.
Dua ketentuan di MK ini membuyarkan skenario politik Koalisi Indonesia Maju atau KIM yang didukung mayoritas partai pendukung pemerintah dan membuat anak bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, tak bisa menjadi calon kepala daerah.
Jokowi terindikasi membiarkan DPR menganulir putusan MK soal ambang batas calon kepala daerah melalui RUU Pilkada. Presiden mestinya konsisten menyebut putusan MK adalah final dan mengikat, sebagai teguran bagi wakil rakyat. Tapi, Jokowi memilih menghormatinya keputusan MK dan DPR
“Kita hormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga negara,” kata Jokowi melalui pernyataan video pada Rabu, 21 Agustus 2024. “Itu proses konstitusional yang biasa terjadi di lembaga-lembaga negara yang kita miliki.***