Sidang paripurna DPD RI yang sempat ricuh beberapa waktu lalu diwarnai beragam dinamika dan perdebatan argumentasi.
Salah satunya adalah muncul perkataan ‘pengacau’ dari Ketua DPD RI LaNyalla Mattalitti yang ditujukan kepada Senator Papua Barat Filep Wamafma.
Saat ditanya wartawan soal ini, Senator menyinggung soal permintaan maaf LaNyalla.
“Memang saat itu sudah minta maaf. Sebagai manusia beradab, ya, saya maafkan, tetapi apakah maaf menghapus perbuatan materil yang menyebut saya ‘pengacau’, apalagi dalam forum parlemen yang terhormat? Tentu tidak begitu logika hukumnya,” kata Filep.
“Kata ‘pengacau’ itu memang jenisnya penghinaan ringan, sebagaimana Pasal 315 KUHP. Ini delik aduan, dimana tuntutan bisa dilakukan jika saya menyampaikan aduan ini kepada polisi. Jadi, saya bisa mengadukan Saudara La Nyalla,” kata Filep lagi.
Lebih lanjut, ketika ditanya apakah permintaan maaf menghapus pidana yang dimaksud, Senator yang akrab disapa Pace Jas Merah ini memberikan pandangannya.
Menurut Filep, prinsip dalam hukum pidana menyatakan bahwa maaf tidak menghapus pidana.
Dia pun menerangkan alasan yang dapat menghapus pidana.
“Yang menjadi alasan penghapus pidana itu ada dua, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar berarti bahwa perbuatan itu dilarang, tetapi dapat dibenarkan atas kondisi tertentu, misalnya dalam Pasal 50 KUHP terkait orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, daya paksa (Pasal 48 KUHP), pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat 1 KUHP), perintah jabatan yang sah (Pasal 51 KUHP),” urai Filep.
“Alasan pembenar membuat sifat melawan hukum tindak pidana terhapus. Sedangkan, alasan pemaaf misalnya ada dalam Pasal 44 KUHP yaitu pelaku tidak mampu bertanggung jawab. Jadi, secara hukum positif, tidak ada hukum yang menyatakan bahwa maaf bisa menghilangkan pidananya,” tegas Filep lagi.
Lebih jauh, Filep menyinggung kaitannya dengan restorative justice.
Senator Papua Barat ini lantas memberikan argumentasinya dalam konteks persoalan sebutan pengacau tersebut.
“Ada yang bilang bahwa maaf menjadi bagian dari restorative justice. Ya silakan saja berpendapat demikian, karena dasar keadilan restoratif adalah maaf. Tetapi kalau semua pidana berakhir maaf, keadilan justru akan semakin terkoyak. Anda bisa bayangkan betapa saya terhina disebut ‘pengacau’ di depan sidang paripurna parlemen. Konteks ini biar clear supaya orang-orang yang memelintir fakta-fakta hukum, harus lebih banyak belajar hukum lagi,” jelasnya.
“Dan jangan lupa, saya bisa saja meminta ganti rugi materil melalui gugatan perdata yaitu perbuatan melawan hukum dengan bukti putusan pidana inkracht sesuai Pasal 1372 KUHPer yaitu bahwa tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik,” pungkas Filep.(fri/jpnn)
Sumber Berita / Artikel Asli : jpnn