Kabar terbaru perkembangan kasus Vina Cirebon diungkap Yudia Alamsyach, kuasa hukum Liga Akbar.
Liga Akbar adalah saksi yang mencabut berita acara pemeriksaan (BAP) karena merasa didekte penyidik untuk menyampaikan kesaksian yang tidak sebenarnya.
Dalam kesaksian di BAP sebelumnya, Liga Akbar mengaku melihat ada gerombolan pemuda sedang meneriaki, mengejar hingga melempari korban Vina Dewi Arsita alias Vina Cirebon dan Muhammad Rizky alias Eky.
Lalu, kesaksian ini dicabut karena sebenarnya dia tidak melihat dan mengalami kejadian itu.
Kesaksian terbaru Liga Akbar ini ternyata mendapat perhatian dari tim khusus yang dibentuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
"Atas berkembangnya perkara Vina dan Eki yang masih hangat diperbincangkan dan ditangani oleh Polda Jabar, banyak fakta-fakta yang telah diungkap oleh masyarakat," ujar Yudia dalam sebuah pernyataan terbaru yang diterima Tribun, Sabtu (3/8/2024).
Masyarakat, lanjutnya, juga meminta penjelasan atas berjalannya atau proses hukum terkait perkara ini.
"Sebab selama ini kami melihat bahwa Polda Jabar juga 'stuck' atau tidak ada proses hukum baik pemanggilan ataupun proses hukum lainnya yang dilakukan oleh Polda Jabar," ucapnya.
Yudia mengungkapkan, bahwa Mabes Polri telah membentuk tim khusus atau tim pencari fakta untuk mencari kebenaran dari kasus Vina Cirebon.
"Di mana tim tersebut, saya diminta untuk berkomunikasi terkait pengungkapan kasus ini dari awal."
"Pintu masuknya dari Liga Akbar," jelas dia.
Selama hampir satu bulan terakhir, tim khusus tersebut telah menggali keterangan dari Liga Akbar dan saksi-saksi yang menguatkan keterangannya.
"Banyak saksi-saksi yang dipanggil dan dimintai keterangannya oleh tim khusus ini untuk menguatkan kronologi sebenarnya," katanya.
Yudia menyampaikan kabar baik, bahwa beberapa hari yang lalu, tim khusus telah menentukan dan mendapatkan kronologi lengkap yang sebenarnya, sebelum Eki dan Vina ditemukan meninggal dunia.
"Alhamdulillah, beberapa hari yang lalu tim khusus ini telah menentukan dan sudah mendapatkan kronologi lengkap sebenarnya, sebelum Eki dan Vina ditemukan meninggal dunia," ujar pria yang juga kuasa hukum Pegi Setiawan itu.
Dengan adanya temuan baru ini, diharapkan proses hukum terhadap kasus ini dapat segera berjalan dengan baik dan memberikan kejelasan serta keadilan bagi semua pihak yang terlibat.
Pengakuan Yudia Alamsyah ini sejalan dengan pernyataan terbaru mantan Wakapolri Komjen (purn) Oegroseno.
Oegroseno meyakini bahwa alur peristiwa Kasus Vina Cirebon, seperti yang tertuang di isi putusan, hanya dikarang-karang.
Berdasarkan analisisnya, Oegroseno menyebut seharusnya TKP pembunuhan Vina dan Eky bertambah satu lagi, menjadi total empat TKP.
Diketahui sesuai dengan isi putusan, ada tiga TKP dalam kasus pembunuhan Vina Cirebon.
TKP pertama terjadi Jembatan Layang Talun, Kabupaten Cirebon.
Selanjutnya, TKP pelemparan batu dan pengejaran di Jalan Perjuangan.
Terakhir, TKP pembunuhan dan pemerkosaan di belakang showroom mobil, atau seberang SMPN 11 Cirebon, Majasem, Kesambi.
Namun, Oegroseno menambahkan satu TKP lagi.
"Mungkin, ini bukan hanya tiga. Menurut saya, ada empat," ujar Oegroseno seperti dikutip dari Nusantara TV yang tayang pada Jumat (3/8/2024).
Oegroseno beralasan karena bukti darah yang selama ini dicari untuk membuktikan adanya pembunuhan di tiga TKP sebelumnya tidak ditemukan.
Ia menganalisis bahwa kedua korban dibunuh di dalam sebuah rumah atau bangunan.
Rumah itu bisa diselidiki dengan metode termutakhir scientific crime investigation untuk menemukan adanya darah, rambut dan lain-lain.
"Naluri saya, TKP ini bisa di dalam rumah, bangunan," katanya.
Selain itu, analisisnya kian kuat bahwa adanya satu TKP baru karena ia menemukan beberapa fakta dari bukti digital di media sosial Facebook.
Oegroseno menduga antara para pelaku dan korban saling mengenal.
"Tiga (TKP) itu kan dalam berita acara dari awal iya kan, jadi yang satu adalah feeling saya. Para pelaku setelah saya mengumpulkan beberapa fakta dari Facebook dari media sosial, kemungkinan di antara para pelaku dan korban ini kenal."
"Ada berita komunikasi juga yang jam berapa masih bisa komunikasi. Jadi kelihatannya tidak dilakukan pengadangan, seperti cerita yang dikarang-karang itu. Tapi, mereka (para pelaku) diundang kumpul kemudian terjadi peristiwa (pembunuhan) itu," ujar Oegroseno seperti dikutip dari Nusantara TV yang tayang pada Jumat (2/8/2024).
Oegroseno meyakini bahwa alur peristiwa itu hanya karangan karena ia menemukan hal janggal saat membacanya.
Ia menyoroti kenapa para pelaku memindahkan korban berpindah-pindah dari satu TKP ke TKP lainnya.
"Ya sekarang kalau TKP orang dibunuh di satu tempat kemudian dipindahkan ke jalan layang. Kalau sudah dibunuh di kebun, yaudah taruh situ aja, kenapa harus dipindah lagi ke jalan layang."
"Kalau itu TKP di dalam gedung atau rumah, kemungkinan dipindah ke jalan layang lebih besar. Tapi, kalau sudah di kebun ya dibiarin aja di sana," jelasnya.
Oegroseno juga menganalis terkait dengan alur peristiwa kematian Vina dan Eky di tahun 2016.
Ia meyakini bahwa kedua korban tidak dibawa naik motor ke Jembatan Layang Talun, Kabupaten Cirebon, seperti yang tertuang di dalam isi putusan.
Namun, Vina dan Eky dipindahkan dari TKP pembunuhan ke jembatan tersebut dengan kendaraan roda empat.
"Kalau mereka (para pelaku) melakukan (pembunuhan dan pemerkosaan) di TKP di kebon, kenapa harus dipindahkan? Dipindahkan ke motor yang tidak ada bekas darah," ujar Oegroseno seperti dikutip dari Nusantara TV yang tayang pada Jumat (2/8/2024).
Pasalnya, tak ditemukan bukti darah di motor tersebut.
"Saya yakin bahwa mereka dipindahkan dengan kendaraan roda empat. Kalau ada kecelakaan lalu lintas di situ, orang Indonesia ada kecelakaan sedikit nonton semua kok. Kenapa ini seolah tidak ada masyarakat yang menonton dan menjadi saksi," ujar Oegroseno.
Oegroseno juga melihat bahwa penggunaan kendaraan roda empat untuk mengantisipasi perhatian warga sekitar.
Mereka kemudian sengaja dibiarkan di jembatan layang Talun diam-diam agar tak memantik kecurigaan warga.
"Jadi, analisa saya sendiri belum tentu bener juga, mungkin dilakukan di satu bangunan yang tertutup kemudian mereka saling kenal, yang kedua setelah kejadian korban dinaikkan ke kendaraan roda empat, kurang lebih berapa KM (kilometer) ke TKP, ditaruh tinggal pergi lagi," pungkasnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Dosen Ilmu Hukum Universitas Trisakti, Azmi Syahputra.
Menurutnya, adanya skenario dari alur peristiwa pembunuhan itu kian menguat dengan ditemukan banyaknya kejanggalan.
"Patut diduga ini by design dari seseorang karena sejak awal sudah memang tampak pelanggaran-pelanggaran gitu loh," ucap Azmi seperti dikutip dari Nusantara TV yang tayang pada Jumat (2/8/2024).
Pasalnya, alat bukti yang tersedia dalam kasus ini sangat lah minim.
Selain itu, tiga DPO yang jelas-jelas tertuang di dalam isi putusan disebut fiktif alias tidak ada.
Padahal, ketiga DPO tersebut memiliki peran yang penting dalam pembunuhan kedua korban.
"Malah lagi DPO-nya itu yang tiba-tiba dibuat oleh teman-teman kepolisian dengan ciri-ciri tidak jelas, dengan sengaja dibikin tidak terang. Jadi, memang ini mau mengaburkan kalau kita lihat. Ya, wajar dong kalau tadi dibilang ada by design, karena memang tidak ada kejelasannya," pungkasnya.
Sumber Berita / Artikel Asli : tribunnews