Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta Fathul Wahid membuat pengumuman mengejutkan. Dia menolak dipanggil dengan sebutan ‘Prof’ oleh semua kalangan.
Lewat akun Instagram pribadinya (@fathulwahid_), Fathul Wahid mengatakan penolakan atas panggilan ‘Prof’ tersebut didasari karena dirinya telah menghapus gelar yang sudah melekat pada namanya sebagai akademisi.
Bukan tanpa alasan, Fathul mengaku menghapus gelar akademik itu untuk memangkas jarak atau kesenjangan sosial.
“Dengan segala hormat, sebagai upaya desaklarisasi jabatan Profesor, kepada seluruh sahabat, mulai hari ini mohon jangan panggil saya dengan sebutan ‘prof’,” tulis Fathul seperti dikutip JawaPos.com pada Jumat (19/7).
Lepas dari panggilan dan gelar ‘Prof’, Fathul mengaku hanya ingin dipanggil sebagaimana namanya yang akrab dikenal rekan sejawatnya selama ini.
“Panggil saja: Fathul, Dik Fathul. Kang Fathul, Mas Fathul, atau Pal Fathul. Inshaallah akan lebih menentramkan dan membahagiakan. Matur nuwun,” imbuhnya.
Fathul juga mengajak siapa pun akademisi yang merasa sependapat dengannya. Menurut dia, gelar Profesor seharusnya didapat untuk kepentingan akademisi dan bukan belaka untuk disanjung atau dihormati orang lain.
“Semoga jabatan Profesor tidak lagi dikejar oleh banyak orang, termasuk para pejabat dan politisi, dengan menghalalkan semua cara,” tandasnya.
Sementara itu, dilansir dari Jawa Pos Radar Jogja, keputusan Rektor UII untuk menghapus gelar Profesor ini bahkan diterbitkan secara resmi lewat Surat Edaran (SE) tentang Penghapusan Gelar Profersor Pada Jabatan Akademik.
Surat Edaran dengan Nomor: 2748/Rek/10/SP/VII/2024 diteken oleh Fathul Wahid sendiri pada Kamis (18/7) kemarin. Dalam surat tersebut, dia mengaku ikhlas dengan penghapusan gelarnya.
“Pertama, menjaga semangat kolegialitas. Jangan sampai jabatan profesor justru menambah jarak sosial. Kampus seharusnya menjadi salah satu tempat yang paling demokratis di muka bumi," katanya dalam SE tersebut.
Selain itu, alasan kedua, jabatan Profesor seharusnya bukan dianggap sebatas pencapaian karir belaka. Melainkan adalah tanggung jawab terhadap publik yang harus diemban.
Menurutnya, belakangan ini kian banyak orang-orang bergelar Profesor namun tidak benar-benar Amanah dengan jabatannya. Bahkan tidak sedikit yang melakukan penyelewengan dan tidak berpihak pada kebenaran
Jangan sampai jabatan ini dianggap sebagai status sosial dan bahkan dikejar-kejar, termasuk oleh sebagian pejabat dan politisi, dengan mengabaikan etika,” tambahnya.
Lebih lanjut, sebagai bentuk keseriusan, penghapusan gelar juga ia lakukan untuk semua hal yang menyematkan gelar ‘prof’, seperti seluruh korespondensi surat, dokumen, dan produk hukum selain ijazah, transkrip nilai, dan yang setara itu.
“Tidak mencantumkan jabatan akademik, bukan berarti posisinya hilang. Saya tetap profesor, dengan atau tanpa mencantumkan jabatan akademik di depan nama,” tegasnya.