Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

"Reshuffle" Kabinet dan Tukar Tambah Politik Jokowi

Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto memimpin sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (24/6/2024). Sidang kabinet paripurna tersebut membahas perekonomian Indonesia terkini. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/YU

PADA pengujung masa jabatan yang menyisakan waktu sekitar tiga bulan lagi, Presiden Jokowi akhirnya menggunakan hak prerogatifnya sebagai kepala pemerintahan dengan melakukan reshuffle kabinet.

Ada tiga nama yang dilantik Jokowi di Istana Negara Jakarta pada Kamis, 18 Juli 2024, yakni Thomas Djiwandono sebagai Wakil Menteri Keuangan, Sudaryono sebagai Wakil Menteri Pertanian, dan Yuliot Tanjung sebagai Wakil Menteri Investasi.

Secara politik, pilihan Jokowi melakukan reshuffle kabinet dengan alasan bagian dari proses transisi pemerintahan lama ke pemerintahan baru presiden terpilih tentu bermasalah.

Pasalnya, Indonesia tidak mengenal sistem pemerintahan transisi karena pergantian presiden tidak otomatis mengubah kebijakan presiden terpilih.

Kondisi berbeda terjadi di Amerika Serikat (AS), tepat ketika komisi pemilihan mengumumkan pemenang presiden.

Ada lembaga khusus bernama General Services Administration (GSA) mengurusi proses transisi pemerintahan baru.

Secara sah, lembaga kongres AS, yaitu DPR dan Senat menyediakan anggaran demi kelancaran proses transisi presiden lama ke presiden terpilih bisa tertib, aman, dan damai.

Itu sebabnya di AS, ketika presiden akan menyelesaikan masa jabatannya, baik karena kalah di Pilpres seperti kasus Donald Trump yang kalah di Pilpres AS tahun 2020 atau tidak mencalonkan kembali karena sudah dua periode layaknya Barrack Obama tahun 2016, presiden tersebut memasuki masa lame duck.

Secara sederhana, lame duck atau bebek lumpuh menjelaskan kondisi psikologi kekuasaan presiden akan segera meninggalkan jabatannya karena presiden baru hasil Pilpres sudah terpilih.

Biasanya masa lame duck presiden adalah dua atau tiga bulan sebelum pelantikan presiden terpilih.

Selama periode ini, presiden yang memasuki masa lame duck dibatasi pengaruhnya, baik untuk urusan strategis kabinet, mengeluarkan grasi dan kebijakan yang dianggap berpengaruh signifikan terhadap pemerintahan selanjutnya.

Tentu kondisi ini tidak dialami oleh Presiden Jokowi, meskipun Prabowo Subianto telah diumumkan oleh KPU sebagai presiden terpilih.

Jokowi tidak memasuki masa lame duck sebagai presiden yang dibuktikan pengaruhnya masih kuat dengan bebas menggunakan hak prerogatifnya dalam melakukan reshuffle kabinet.

Sehingga asumsi terkait alasan reshuffle kabinet bukan dalam urusan kepentingan proses pemerintahan transisi, tetapi lebih pertimbangan politis dengan tujuan mengakomodasi kepentingan Prabowo sebagai presiden terpilih.

Buktinya sederhana, dua dari tiga wakil menteri yang dilantik Presiden Jokowi adalah orang dekat Prabowo sekaligus kader utama Partai Gerindra.

Pertama, Sudaryono adalah loyalis Prabowo sekaligus sebagai Ketua DPD Partai Gerindra Jawa Tengah. Kedua, Thomas Djiwandono adalah keponakan Prabowo yang juga merupakan Bendahara Umum Partai Gerindra.

Tukar tambah Politik Jokowi

Di luar proposisi soal motif Jokowi dalam reshuffle kabinet demi mengakomodasi kepentingan Prabowo sebagai presiden terpilih, tentu ada asumsi lain yang bisa dijadikan pijakan argumentasi ihwal kebijakan reshuffle daripada sekadar basa-basi agenda kekuasaan dengan alasan demi efektivitas pemerintahan.

Bahkan jika ada menteri atau wakil menteri yang berhalangan tetap seperti terkena kasus hukum karena tersandung korupsi, Presiden Jokowi tidak harus melakukan reshuffle karena cukup digantikan oleh menteri koordinator yang membawahi kementerian terkait karena usia pemerintahan lama tinggal menyisakan masa kerja sekitar 90 hari lagi.

Selain itu, reshuffle kabinet yang berlangsung kemarin, tidak lepas dari tukar tambah politik kekuasaan Jokowi.

Pada titik ini setidaknya ada dua poin penting secara empirik yang bisa dianalisa. Pertama, bila kita kembali ke tahun 2022, ketika nama putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sempat diproyeksikan menjadi bakal Calon Gubernur Jawa Tengah.

Waktu itu, pesaing utama Gibran untuk dimajukan di Pilkada Jawa Tengah dari internal PDI Perjuangan adalah Wali Kota Semarang dua periode (2016-2022) bernama Hendrar Prihadi.

Pada upaya memperkuat posisi Gibran dan meminimalkan konflik internal, Hendrar Prihadi kemudian “dihadiahi” jabatan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) oleh Presiden Jokowi, tepat setelah ia menyelesaikan kepemimpinannya di Semarang.

Setelah Hendrar Prihadi dilantik sebagai kepala LKPP, nama Gibran sebagai bakal Cagub Jawa Tengah langsung menguat, meskipun pada ujung dinamika politik yang terjadi Gibran akhirnya terpilih sebagai wakil presiden.

Situasi yang hampir sama akhir-akhir ini terjadi ketika nama ketua DPD Partai Gerindra Jawa Tengah Sudaryono menguat sebagai bakal Cawagub mendampingi Kapolda Jawa Tengah Ahmad Luthfi.

Tentu pilihan Jokowi mengangkat Sudaryono menjadi Wakil Menteri menjadi alternatif yang menguntungkan secara politik demi tujuan memajukan putra bungsu Presiden Jokowi Kaesang Pangarep menjadi Cawagub di Pilkada Jawa Tengah.

Apalagi secara elektabilitas di pelbagai lembaga survei menyebutkan nama Kaesang lebih potensial maju sebagai cagub atau cawagub di Pilkada Jawa Tengah daripada maju di Pilkada Jakarta.

Artinya dengan diangkatnya Sudaryono sebagai Wakil Menteri Keuangan, besar kemungkinan nama Kaesang akan dimajukan mendampingi Ahmad Luthfi sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di Pilkada Jawa Tengah.

Kedua, pelantikan Thomas Djiwandono sebagai Wakil Menteri Keuangan bisa diasumsikan merupakan politik tukar tambah Presiden Jokowi.

Alasannya, Thomas Djiwandono merupakan putra sulung dari Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) periode 1993-1998 bernama Sudrajad Djiwandono, yang juga merupakan kakak ipar dari Prabowo.

Adapun Sudrajad Djiwandono selama ini salah satu tim pakar bidang ekonomi Prabowo.

Jika kita merujuk ke wawancara di Program ROSI Kompas TV pada Maret 2024, Sudrajad mendapat pertanyaan dari pembawa acara Rosianna Silalahi: apa kebijakan yang akan dipilih melanjutkan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) atau melaksanakan program makan siang gratis?”

Pada wawancara tersebut, secara gamblang Sudrajad Djiwandono menjawab: “makan siang gratis lebih penting daripada pembangunan IKN”.

Tentu jawaban Sudrajad ini memengaruhi psikologi politik Jokowi mengingat pembangunan IKN merupakan masterpiece (mahakarya) kepemimpinannya sebagai presiden dua periode Republik Indonesia.

Jokowi tidak ingin pembangunan IKN bernasib sama dengan proyek Hambalang di masa kepresidenan SBY yang masih mangkrak hingga hari ini.

Pun jika IKN mangkrak akan berdampak tidak baik bagi Jokowi, mengingat anak-anak dan menantunya kini sudah masuk dalam politik praktis. Bisa saja pada masa depan dipolitisiasi lawan politik seperti yang dialami oleh SBY dan AHY yang kerap mendapatkan sentilan balasan soal gagalnya Proyek Hambalang sesaat keduanya melancarkan kritik terhadap pemerintah.

Di sini bisa diambil kesimpulan bahwa tukar tambah kekuasan dalam reshuffle kabinet yang dilangsungkan Jokowi jauh dari asumsi perbaikan kinerja di kabinet.

Apalagi asumsi soal reshuffle kabinet untuk proyeksi transisi pemerintahan lama ke pemerintahan baru, itu lebih jauh lagi.

Sumber Berita / Artikel Asli : kompas

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Onlineindo.TV | All Right Reserved