INSIDEN penembakan Donald Trump menambah panjang daftar peristiwa kekerasan terhadap para presiden maupun kandidat. Peristiwa itu terjadi hanya empat bulan menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat. Trump yang tengah berkampanye di hadapan pendukungnya di Pennsylvania mengalami luka tembak di telinga kanan hingga wajahnya berlumuran darah.
Tragedi pembunuhan orang nomor satu dalam sejarahnya di Amerika Serikat bukan kisah baru. Sejauh ini, upaya pembunuhan telah menewaskan empat presiden. Yakni, Abraham Lincoln, James Garfield, William McKinley, dan John F. Kennedy. 43 tahun lalu, Ronald Reagan tertembak di paru-paru namun selamat. Barack Obama, Joe Biden, dan Trump juga turut menjadi sasaran pembunuhan.
Tanda-Tanda Awal
Insiden penembakan Trump tidak terlepas dari konstelasi politik-ekonomi yang terjadi di AS belakangan ini. Ketimpangan ekonomi dan polarisasi politik yang meningkat dengan dampak ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap institusi demokratis.
Tanda-tanda kekerasan yang mewarnai rivalitas politik di AS sudah muncul ketika dalam sebuah jajak pendapat dikemukakan bahwa lebih banyak orang Amerika yang mendukung penggunaan gas air mata terhadap pengunjuk rasa di luar kelompok pada tahun 2017 jika dibandingkan tahun 2014 (Westwood, et al, 2019). Mayoritas warga Amerika juga menyadari sepenuhnya tingginya intensitas retorika politik yang menjurus pada kekerasan politik tahun 2019, sebelum pandemi, pemakzulan Donald Trump, atau kerusuhan Capitol (Drake & Kiley, 2019).
Bukan hanya itu. Ilmuwan politik di Universitas Chicago Robert Pape, dalam jajak pendapatnya pasca serangan terhadap Capitol oleh pendukung Trump (6/1/2021), ditemukan bahwa 10 persen masyarakat menyetujui penggunaan kekerasan untuk mencegah Donald Trump menjadi presiden. Sepertiga dari mereka yang menjawab itu mengaku memiliki senjata (Feuer, 2024).
Hal itu menunjukkan bahwa polarisasi politik merupakan humus bagi tumbuh suburnya kekerasan politik. Dalam situasi ini, hukum, keadilan, kemanusiaan, dan kesetaraan tak lagi menjadi titik sentral hidup berbangsa dan bernegara. Semua digulung oleh segala bentuk prasangka negatif, intimidasi dan pementingan diri, serta permisif terhadap cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan kekuasaan.
Darwinisme
Indonesia sedang memasuki tahap penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada). Gong coblosannya pada 27 November. Agenda demokrasi lokal itu akan menguji bagaimana politik dijalankan secara bermartabat dan nir-kekerasan. Ini semua tergantung pada kedewasaan berpolitik elite dan masyarakat dalam memaknai secara genuine bahwa politik adalah sarana mewujudkan kemaslahatan publik. Bukan sebaliknya, menjadikan politik sebagai kuda troya untuk mengejar ambisi pribadi dan kelompok.
Kita tentu tak bisa menutup mata terhadap preseden politik berbasis kompromi dan mengegolkan kepentingan diri/kelompok yang mewarnai sejarah politik dan demokrasi kita. Antisipasi terhadap politik berbasis kekerasan perlu menjadi agenda kolektif. Apalagi, ada semacam paranoiditas kekuasaan yang menumpuk dalam rasio elite kita, terutama yang dipantulkan buzzer politik para kubu pendukung kontestan. Yang jika direfleksikan lebih jauh, hal itu sebenarnya membersitkan dua hal simpel.
Pertama, Darwinisme politik. Menjustifikasi teori Charles Darwin (The Origin Species, 1859) bahwa semua makhluk hidup di dunia ini adalah makhluk terancam karena bersaing melalui seleksi alam dengan sesamanya. Untuk mengatasi itu, mereka harus bertahan dengan segala cara, termasuk menyerang.
Kedua, bagian dari adu kepentingan yang dibungkus bahasa reaksioner, memakai alasan klise: mewujudkan keadilan, pembelaan dan perlindungan terhadap hak individu/kelompok. Apalagi dengan kehadiran hypermedia space yang memvibrasi segala bentuk empati, dukungan, fanatisme maupun sebaliknya, ke ruang-ruang publik.
Tren itu membuat suasana kebatinan khalayak mudah dilibatkan secara eksploitatif-destruktif. Perasaan intim dengan pesan yang dibaca dan dilihat gampang terbentuk akibat ’’rekayasa kesadaran’’ (William, 2003). Sebuah kesadaran yang terbentuk oleh stimulus polarisasi kepentingan, segregasi, yang dipenuhi residu-residu kebencian.
Padahal, menurut Sir Stafford Cripps, peradaban yang sejati, bahagia, dan bermoral tidak bisa dibangun di atas material yang jahat (arogansi, emosional, kebencian, dan hujatan). Agama dan demokrasi menurut Cripps bisa menjadi media konsolidasi dan berfungsi positif bagi masyarakat jika dilandaskan pada material baik (solider, toleran, damai, dan penuh kekeluargaan alias humanis).
Di kalangan spiritual Jawa, kita mengenal Semar, tokoh mitologis yang merepresentasikan pribadi yang egaliter dan adil. Meskipun punya kesaktian, ia tidak menggunakan itu sebagai sarana untuk mendigdayakan diri, merebut kekuasaan. Melainkan untuk melayani para pandawa.
Semoga material politik itu pula yang akan menghiasi agenda demokrasi (pilkada) ke depan. Sebagaimana postingan Donald Trump pada Minggu (14/7) di media sosialnya, ’’Pada saat ini, lebih penting dari sebelumnya bahwa kita bersatu, menunjukkan karakter sejati sebagai orang Amerika, tetap kuat dan bertekad, dan tidak membiarkan Kejahatan Menang.’’
Kejahatan dan kekerasan politik, termasuk narsisme dan pementingan diri, harus menjadi musuh bersama yang dienyahkan. Hal itu sebagai manifestasi kesejatian kultur masyarakat Indonesia yang selalu mencintai persaudaraan, solidaritas, cinta kasih, dan memuliakan nilai-nilai kemanusiaan. (*)
*) UMBU T.W. PARIANGU, Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang