Jangankan move on, bagi PDIP tidak ada kata menyerah. Partai banteng moncong putih masih terus bermanuver untuk menggagalkan langkah Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi wakil presiden.
Gugatan PTUN jadi peluru pamungkas PDIP. Tim hukum berharap melalui jalur ini bisa memaksa KPU menolak pendaftaran Gibran sebagai Calon Wakil Presiden 2024 sehingga wakil presiden terpilih itu tidak jadi dilantik.
Desakan tersebut tertera dalam permohonan gugatan (petitum) yang diajukan kepada Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. "Yang bermasalah bagi kami Gibran, bagi kami, ya tidak bisa dilantik bahwa KPU memutuskan ini tidak bisa dilantik, orang bermasalah," ujar Ketua Tim Kuasa Hukum PDIP, Gayus Lumbuun usai sidang di PTUN Jakarta, di kawasan Jakarta Timur, Kamis (18/7/2024).
Menurut Gayus, pada Tanggal 25 Oktober 2023, para komisioner KPUtelah melakukan perbuatan melawan hukum administratif karena telah menerima pendaftaran bakal cawapres. Alasannya masih sama, yakni, Gibran diterima dari hasil polemik putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga pamannya Anwar Usman Cs terkait batas usia syarat pencalonan capres-cawapres.
"Inilah yang saya anggap sebagai pelanggaran hukum oleh penyelenggara negara dengan kewenangannya dan merugikan masyarakat karena tidak menaati undang-undang," ucapnya.
Seharusnya, kata Gayus, KPU harus menaati Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang mengatur bahwa tindak lanjut atas putusan MK dilakukan oleh DPR atau Presiden.
“Ketua KPU yang lalu itu (Hasyim Asy’ari, red.) mengirimkan keputusan (MK) itu atau permohonan agar dipakai sebagai peraturan sah ke Menteri Hukum dan HAM (Menkumham). Oleh Menkumham, diarahkan kembali sebagaimana undang-undang, yaitu ke DPR,” tutur dia.
Gayus menegaskan, PTUN Jakarta memiliki wewenang apabila mengabulkan gugatan mereka, untuk memerintahkan KPU RI menolak pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden 2024 sehingga Presiden Terpilih itu tidak dapat dilantik.
“Sangat salah (jika PTUN tidak berwenang) karena kami bukan (mempersoalkan) hitungan suara, tapi kami menggugat tindakan atau perbuatan orang melakukan atau tidak melakukan, itu konsep TUN,” kata Gayus.
Sebelumnya, Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri juga sempat menyinggung soal kecurangan Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM). Padahal segala prosedur sudah dilalui, Mahkamah Konstitusi (MK) pun sudah menolak permohonan soal adanya kecurangan TSM, memastikan hasil Pilpres 2024 sudah sah.
Suara sumbang ini Megawati sampaikan dalam pidato politik di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Jumat (5/7/2024). “Saya bilang lho, (kecurangan Pemilu 2024) TSM memang ada kenapa kalian enggak berani ngomong," kata Megawati.
Megawati sadar jika pernyataannya ini dapat membawa ia berurusan dengan aparat penegak hukum. Akan tetapi, ia tidak takut lantaran dirinya tahu jika kecurangan tersebut benar terjadi namun bukti-buktinya ditutupi. “Kalau saya ngomong gini lalu wartawan nulis, Ibu Megawati mengatakan itu TSM, saya boleh terus saya mau dipanggil polisi. Orang buktinya (TSM) ada, tapi diumpetin, kan gampang saja lho," ucapnya.
Megawati lantas meminta seluruh kadernya untuk tidak takut dalam menyuarakan kecurangan yang terjadi. "Loh saya jangan dilupakan, Presiden ke-5 Republik Indonesia menguasai seluruh aparatur negara. Gile, jadi saya terus dipikir enggak tahu, ya tahu isi perutnya," tuturnya.
Sepertinya PDIP mesti belajar ikhlas dan lapang dada pada bekas cawapres yang pernah diusungnya, Mahfud Md. Eks Menko Polhkam itu sudah berpesan ke semua pihak untuk tak lagi mempermasalahkan soal gelaran dan hasil Pilpres 2024.
Pesan menyejukkan itu disampaikannya ketika mengisi tausiah di acara Gebyar Hijriyah Tahun Baru Islam 1446 H 'Nusantara Bertamaddun Menuju Indonesia Emas' di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Minggu (7/7/2024).
Ia meminta keinginan mayoritas rakyat dalam memilih pemimpin untuk diakui. Mahfud tak ingin ada lagi yang marah-marah lantaran tak bisa menerima hasil pilpres. Mahfud menyebut, pihak yang kalah mesti lapang dada dan menunjukan sikap beradab. Suka atau tidak suka dengan hasil pemilu, itu sudah kehendak rakyat.
"Keadabannya sudah kita bangun untuk membangun pemerintah itu, ada pemilu, pemilu? Selesai ya sudah. Yang menang harus diakui, jangan marah-marah melulu ndak bisa. Itu tidak berkeadaban namanya. Wong sudah pemilu, lalu merasa paling hebat ternyata tidak terpilih, ya sudah rakyat milih itu. Apa pun variasi yang mendekati, itu harus kita akui, lalu apa? Mari membangun peradaban," ujar Mahfud seperti dilansir dari inilah
Kuasa Hukum PDI Perjuangan Gayus Lumbuun menyatakan yakin Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta berwenang untuk mengadili gugatan terhadap KPU RI terkait perbuatan melawan hukum pada Pilpres 2024. Gugatan yang diajukan PDIP adalah perbuatan melawan hukum oleh penyelenggara pemilu.
"Sangat salah (jika PTUN tidak berwenang) karena kami bukan (mempersoalkan) hitungan suara, tetapi kami menggugat tindakan atau perbuatan orang melakukan atau tidak melakukan, itu konsep TUN kata Gayus ditemui usai sidang di PTUN Jakarta, Kamis (18/7/2024).
Gayus menegaskan, bahwa gugatan yang teregister dengan Nomor Perkara 133/G/TF/2024/PTUN.JKT ini berbeda dengan gugatan sengketa pemilu yang ada di Mahkamah Konstitusi maupun di Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Ia menjelaskan pihaknya mempersoalkan perbuatan melawan hukum saat KPU RI menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, yakni perihal syarat usia calon presiden dan wakil presiden.
Ketika itu, imbuh dia, KPU tidak menaati Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang mengatur bahwa tindak lanjut atas putusan MK dilakukan oleh DPR atau Presiden.
"Ketua KPU yang lalu itu (Hasyim Asy’ari) mengirimkan putusan (MK) itu atau permohonan agar dipakai sebagai peraturan sah ke Menteri Hukum dan HAM (Menkumham). Oleh Menkumham diarahkan kembali sebagaimana undang-undang, yaitu ke DPR," katanya.
Namun, menurut Gayus, KPU tetap saja tidak menindaklanjuti Putusan MK Nomor 90 untuk diterjemahkan ke dalam Peraturan KPU melalui DPR terlebih dahulu. "Inilah yang saya anggap sebagai pelanggaran hukum oleh penyelenggara negara dengan kewenangannya dan merugikan masyarakat karena tidak menaati undang-undang," ujar dia.
Pada perkara ini, PDIP meminta PTUN Jakarta menyatakan tindakan KPU sebagai penyelenggara Pemilu 2024, sepanjang mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden merupakan perbuatan melanggar hukum oleh pejabat pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad). Tindakan KPU yang dipersoalkan oleh PDIP, pada intinya, yaitu tidak menolak pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden peserta Pemilu 2024.***