Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Dua kejahatan utama rezim Jokowi dalam menghalangi dakwah Islam, dakwah Amar Ma'ruf Nahi Mungkar, adalah membungkam Ormas Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI). Keduanya, dibungkam karena konsisten berdakwah dan menyampaikan ajaran Islam Khilafah.
Status Badan Hukum Perkumpulan (BHP) HTI dicabut pada hari Rabu tanggal 19 Agustus 2017, melalui SK Nomor AHU-30.A.01.08 Tahun 2017 tentang pencabutan SK Nomor AHU-00282.60.10.2014, tentang pengesahan status badan hukum HTI.
Tiga tahun berikutnya menyusul FPI dibungkam melalui surat keputusan bersama (SKB) enam pejabat negara pada tanggal 30 Desember 2020.
SKB yang berisi tentang larangan kegiatan, penggunaan simbol dan atribut, serta penghentian kegiatan FPI diteken Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Kepala Polri Jenderal Idham Azis, serta Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Boy Rafli Amar dengan Nomor 220-4780 Tahun 2020, Nomor M.HH-14.HH.05.05 Tahun 2020, Nomor 690 Tahun 2020, Nomor 264 Tahun 2020, Nomor KB/3/XII/2020, dan Nomor 320 Tahun 2020.
HTI yang mendakwahkan ajaran Islam Khilafah, dituding memecahbelah karena ajaran Khilafah diklaim melanggar sila persatuan Indonesia dalam butir Pancasila. Intinya, HTI dibungkam dengan tudingan mendakwahkan Khilafah dan anti Pancasila.
FPI yang mencantumkan Khilafah Nubuwah pada dokumen AD dan ART nya, juga dituding anti Pancasila sehingga permohonan perpanjangan izin SKT (Surat Keterangan Terdaftar) Ormas di Kemendagri ditolak. Berikutnya, rezim Jokowi justru menerbitkan SKB pembubaran FPI.
Padahal, dikalangan umat Islam tidak ada satupun yang memiliki pendapat Khilafah bukan ajaran Islam.
Sikap Rezim Jokowi yang membungkam HTI & FPI sejatinya adalah sikap anti Islam, karena telah menjadikan Khilafah sebagai dasar dan alasan pembungkaman.
HTI dan FPI juga dikenal luas sebagai ormas yang aktif berdakwah. Dalam berbagai isu keumatan, keduanya bersuara lantang untuk menyuarakan kebenaran yang bersumber dari Islam.
Saat Penulis ditunjuk oleh Ketua Umum TPUA Bang Eggi Sudjana, menjadi koordinator agenda EVALUASI TOTAL KINERJA REZIM JOKOWI JELANG LENGSER 20 OKTOBER 2024, yang diselenggarakan pada hari Senin, 15 Juli 2024.
Salah satu bahan evaluasi kinerja rezim Jokowi adalah sorotan terhadap rezim Jokowi yang represif terhadap dakwah Islam, khususnya terhadap Ormas HTI & FPI.
Memang benar, bukan hanya masalah HTI dan FPI yang disorot. Ada banyak persoalan yang menjadi dasar evaluasi total sekaligus menyampaikan rekomendasi kepada umat.
Sejumlah isu menjadi sorotan, diantaranya : kasus ijazah Palsu Jokowi. Kasus ini menjadi atensi utama TPUA karena menang TPUA konsens mengadvokasi permasalahan tersebut.
Lalu, tindakan represif dan zalim rezim Jokowi terhadap para ulama, habaib, tokoh pergerakan & aktivis.
Nama-nama seperti Habib Rizieq Shihab, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Ali Baharsyah, Rocky Gerung, Roy Suryo, Gus Nur, Bambang Tri, Ust Heru Elyasa, Despianoor Wardhani, dikriminalisasi dengan dalih menyebarkan kabar bohong, mengedarkan kebencian dan permusuhan berdalih SARA.
Adapun Ustadz Farid Okbah, Ustadz Ahmad Zain An Najah, Ust Anung Al Hammat, ditangkap dan dipenjara dengan dalih melakukan terorisme.
Belum lagi, Ustadz Abdul Qadir Baradja, Pimpinan Khilafatul Muslimin ditangkap, dengan dalih melanggar UU Ormas
Karenanya, harus ada tuntutan pertanggungjawaban terhadap rezim Jokowi. Jangan merasa setelah lengser 20 Oktober 2024, masalah juga selesai.
Harus ada tuntutan untuk menyeret Saudara Jokowi kemuka hukum pasca lengser dari jabatannya sebagai Presiden, atas berbagai pelanggaran hukum dan konstitusi sepanjang kepemimpinannya dua periode.
Hal ini penting, agar menjadi perhatian bahwa setiap kejahatan ada sanksinya, setiap kezaliman ada balasannya, dan agar siapapun yang memegang urusan amanah kekuasan, wajib memuliakan dakwah Islam dan amanah atas kekuasaan yang diembannya. ***