Oleh: Karyudi Sutajah Putra - Calon Pimpinan KPK 2019-2024
Salah satu syarat untuk menjadi calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagaimana disebut Pasal 9 Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 yang diperbarui dengan UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK adalah, “Berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan.”
Sebab itu, aparat penegak hukumlah yang mendominasi pendaftar capim KPK dari waktu ke waktu. Termasuk capim KPK periode 2024-2029 yang masa pendaftarannya ditutup, Senin (15/7/2024).
Hingga penutupan, jumlah pendaftar capim KPK periode 2024-2029 mencapai total 525 orang. Rinciannya, 318 orang mrndaftar capim KPK, dan 207 orang mendaftar calon anggota dewan pengawas (dewas) KPK.
Dari jumlah itu, ada 5 jaksa yang mendaftar sebagai capim KPK. Mereka adalah Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) Sugeng Purnomo, Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Sesjampidsus) Kejaksaan Agung Andi Herman, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Bali Ketut Sumedana, dan mantan Direktur Penuntutan KPK Fitroh Rohcahyanto.
Kemudian ada 4 perwira tinggi Polri yang mendaftar sebagai capim KPK. Mereka adalah Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian Komisaris Jenderal (Komjen) Setyo Budiyanto, Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Komjen RZ Panca Putra Simanjuntak, Kapolda Kalimantan Tengah Inspektur Jenderal (Irjen) Djoko Purwanto, dan Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi KPK Irjen Didik Agung Widjanarko.
Beberapa pengacara atau advokat juga mendaftarkan diri menjadi capim KPK 2024-2029, di antaranya advokat anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).
Pertanyaannya, masihkah kita berharap pada jaksa, polisi dan pengacara untuk memimpin KPK? Sebab, saat memimpin KPK mereka bermasalah.
Yang pertama adalah Antasari Azhar. Saat menjadi Ketua KPK, sosok berlatar jaksa ini diduga dijebak atau dikriminalisasi sehingga kemudian menjadi tersangka kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen.
Terlepas dari apakah dugaan kriminalisasi itu benar atau tidak, yang jelas pengadilan memutuskan Antasari bersalah. Ia pun mundur dari KPK.
Kedua adalah Abraham Samad. Sosok berlatar advokat ini juga harus mundur dari jabatan Ketua KPK setelah polisi menetapkannya sebagai tersangka kasus pemalsuan dokumen kependudukan.
Ketiga adalah Firli Bahuri. Bekas Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan (Kabaharkam) Polri ini juga harus mundur dari jabatan Ketua KPK setelah Polda Metro Jaya menetapkan jenderal polisi bintang tiga itu sebagai tersangka pemerasan Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pertanian saat itu, senilai Rp7 miliar.
Sebelum ini, Wakil Ketua KPK yang berlatar pengacara, yakni Lili Pintauli Siregar juga harus mundur dari jabatannya setelah diketahui menerima gratifikasi dari PT Pertamina berupa tiket dan fasilitas penginapan saat menonton MotoGP di Mandalika, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Bibit Samad Rianto yang berlatar polisi, dan Bambang Widjojanto yang berlatar advokat juga pernah dijadikan tersangka ini oleh polisi saat menjadi Wakil Ketua KPK.
Tidak itu saja. Wakil Ketua KPK yang berlatar jaksa, Johanis Tanak juga diduga bermasalah karena tak sekali-dua dilaporkan ke Dewas KPK. Musababnya, ia berinteraksi dengan pihak yang sedang beperkara dengan KPK.
Kini, Johanis Tanak kembali mendaftarkan diri sebagai capim KPK bersama Wakil Ketua KPK lainnya, Nurul Ghufron yang juga bermasalah.
Komisioner KPK berlatar akademisi ini dilaporkan ke Dewas KPK gegara membantu mutasi pegawai perempuan Kementerian Pertanian dari pusat ke Malang, Jawa Timur.
Sementara Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dan Ketua Sementara KPK Nawawi Pamolango enggan memperpanjang masa jabatannya dengan mendaftarkan diri sebagai capim KPK periode 2024-2029. Alasannya: banyak persoalan di KPK!
Alhasil, tidak hanya kelembagaannya yang bermasalah, pimpinan dan pegawai KPK juga bermasalah.
Beberapa waktu lalu 66 pegawai KPK dipecat karena terlibat pemerasan dan pungutan liar kepada para tahanan KPK. Sebagian sedang menjalani proses hukum.
Kalau sudah begini, sekali lagi, masihkah kita berharap pada jaksa, polisi dan pengacara untuk memimpin KPK? Jangan berharap sapu kotor bisa membersihkan lantai dan halaman KPK yang juga kotor! ***