Kebijakan yang mewajibkan asuransi kendaraan bermotor (ranmor) mengikuti asuransi third party liability (TPL) mulai Januari 2025 menuai kritik.
Pasalnya, kewajiban asuransi itu diatur dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) yang mana saat ini asuransi kendaraan bersifat sukarela.
Anggota Komisi V DPR RI Suryadi Jaya Purna meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak asal mengutip UU PPSK, dengan alasan Program Asuransi Wajib untuk kendaraan bermotor belum menjadi solusi komprehensif untuk permasalahan yang sesungguhnya.
“Penjelasan Pasal 39A UU P2SK secara gamblang menyebutkan bahwa Program Asuransi Wajib itu di antaranya mencakup asuransi tanggung jawab hukum pihak ketiga (third party liability) terkait salah satunya adalah kecelakaan lalu lintas,” kata Suryadi kepada Kantor Berita Politik dan Ekonomi RMOL saat lalu, Senin (22/7).
Dengan demikian, kata Suryadi, tidak seketika kendaraan bermotor itu wajib asuransi, melainkan harus terdapat penyebab terkait dengan kecelakaan lalu lintas.
Sehingga, Program Asuransi Wajib untuk kendaraan bermotor merupakan tindakan kuratif-rehabilitatif jika terjadi kecelakaan lalu lintas, tetapi belum mencakup tindakan promotif dan preventif.
“Jika memang pemerintah benar-benar serius mencari solusi atas kecelakaan lalu lintas secara komprehensif, seharusnya jangan asal bunyi (asbun) asuransi wajib bagi kendaraan, melainkan juga merevisi UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ),” tegasnya.
Atas dasari itu, Suryadi menegaskan bahwa Fraksi PKS mendesak agar revisi UU LLAJ dapat dibahas kembali melalui usulan pemerintah agar kecelakaan lalu lintas dapat dicarikan solusinya secara komprehensif, bukan dengan gampangnya membebani masyarakat lewat asuransi.
“Terlebih alasannya karena praktik asuransi wajib ini sudah berlaku di berbagai negara lain,” kata Suryadi.
Lebih lanjut, Wakil Sekretaris Fraksi PKS DPR RI ini juga menyebut, premi asuransi kendaraan bermotor akan menjadi beban tambahan bagi masyarakat. Sebab, kendaraan dalam masyarakat bukan hanya berfungsi untuk alat transportasi tapi juga alat produksi.
“Alasan ketiga, asuransi wajib bagi kendaraan tersebut baru berlaku setelah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) yang harus mendapatkan persetujuan terlebih dulu dari DPR, seperti tercantum dalam Pasal 39A UU P2SK ayat (4),” ujarnya.
Oleh karena itu, Suryadi mengingatkan, jika ternyata kewajiban asuransi bagi kendaraan itu mendapatkan penolakan keras dari masyarakat.
“Sehingga PP-nya tidak disetujui oleh DPR, maka pemerintah tidak boleh asal memberlakukan asuransi tersebut,” pungkasnya.