Setelah gagal memperpanjang masa jabatan karena terganjal oleh konstitusi yang melarang jabatan untuk tiga periode, Presiden Joko Widodo tak kehilangan akal agar tetap bertahan dalam struktur negara yaitu dengan upaya mengidupkan jabatan baru yang dihapus pada era reformasi yaitu dihidupkan lagi Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Ini lembaga zaman Orde Baru yang tugasnya memberi nasihat-nasihat kepada Presiden. Lembaga ini dimatikan pada 2003, seiring mandulnya kewenangan DPA.
Dewan Pertimbangan Agung kemudian berubah nama menjadi Dewan Pertimbangan Presiden.
Kini lembaga itu hendak dihidupkan lagi melalui revisi Undang-Undang Dewan Pertimbangan Presiden.
Tadinya, sempat ada pemikiran dari anggota DPR, menempatkan Dewan Pertimbangan Agung sebagai lembaga tinggi negara.
Dalam draf revisi, posisinya berubah dari lembaga pemerintah menjadi lembaga negara yang kedudukannya setingkat lembaga kepresidenan. Loh, bukankah presiden adalah lembaga tinggi negara?
Belum jelas arah dan keinginan para anggota DPR. Namun, usul perubahan itu datang dari koalisi pendukung Prabowo Subianto.
Tentu, partai di belakangnya juga pendukung Jokowi karena anaknya, Gibran Rakabuming Raka, kini jadi wakil Prabowo.
Dewan Pertimbangan Agung adalah gagasan menampung para mantan presiden. Selain Jokowi, di barisan pendukung Prabowo ada Susilo Bambang Yudhoyono.
Awalnya, Partai Demokrat yang dipimpinnya berharap bisa menjalin koalisi dengan Anies Baswedan.
Munculnya gagasan membuat “presidential club” yang akan berisi para mantan presiden.
Masalahnya, desain Dewan Pertimbangan Agung tak lagi sama dengan Wantimpres yang anggotanya dibatasi.
Anggota DPA tidak terbatas dan bisa dari pelbagai latar belakang. Maka, Prabowo bisa memasukkan siapa saja ke dalam Dewan ini, terutama mereka yang kritis kepada pemerintah. Jokowi sukses “membungkam” para pengkritiknya dengan iming-iming jabatan.
Karena itu para ahli hukum menolak dihidupkannya kembali DPA, apa pun desainnya.
Selain memboroskan anggaran negara, DPA bisa dijadikan wadah menampung para pendukung kekuasaan mendapatkan kue kekuasaan.
Apalagi, dengan sistem presidensial, Presiden berkuasa penuh dengan kebijakan-kebijakannya. Presiden bisa mengabaikan nasihat Dewan Pertimbangan Agung.
Karena itu, ketimbang membuat DPA yang akan mandul, Prabowo Subianto lebih baik membentuk dewan yang isinya para pengkritik.
Biarkan mereka bertugas mengawasi dan mengkritik kebijakan pemerintah sehingga akan terjadi check and balance.
Ketika fungsi DPR tumpul karena kepentingan koalisi, Dewan Pertimbangan Agung bisa menghidupkan demokrasi.