Oleh: M Yamin Nasution - Pemerhati Hukum
Ibarat seseorang yang menyeburkan diri kedalam sungai, lalu ia berenang kehilir sungai nan indah, menikmati udara dan sejuknya air sungai, sesekali ia melihat sekelompok orang berpesta dibibir pantai sungai dan orang tersebut mampir bergabung dan turut berpesta, lalu, sekelompok orang tersebut pergi setelah pestanya usai, akan tetapi orang pertama kembali lagi menyeburkan diri kesungai dan berenang.
Tak lama kemudian ia melihat sekelompok orang lain yang berbeda tengah menikmati waktunya ; berjemur, menari, membakar daging-daging hewan (Pesta Barbeqieu), dan orang ini mampir kembali bergabung menikmati momen dan berpesta, setelah usai sekelompok orang tersebut kembali layaknya kelompok pertama seseorang yang pertama kembali kesungai dan berenang kehilir sungai.
Demikianlah seterusnya yang dilakukan orang tersebut hingga ia menyadari bahwa ia telah berada di penghujung sungai yaitu air terjun. Orang tersebut panik kala mengetahaui dirinya akan jatuh kedalam lembah sungai.
Akibat panik dan ketakutan yang begitu besar, maka seseorang tersebut menangkap apapun yang dianggap kiranya dapat bergantung, menahan dan menyelamatkan dirinya dari kejatuhan, hingga terkadang ia harus menangkap sesuatu yang pada akhirnya melukai dirinya sendiri.
Dan tahukan kita bahwa yang menyebabkan orang tersebut mendapat pengalaman demikian adalah karena ia pada dasarnya TAK MEMILIKI TUJUAN atau setidaknya LUPA TUJUAN kenapa ia masuk kedalam sungai.
Demikianlah gambaran kehidupan yang dialami Partai PDI-P, partai yang diperjuangkan dengan pengorbanan pikiran, keringat, air mata, bahkan darah.
Harus menyadari bahwa mereka akan jatuh kedalam lembah air terjun politik yang diberikan oleh Jokowi.
Kader yang dianggap sederhana, merakyat, merayu namun pada akhirnya menipu bahkan memberikan racun pada PDI-P (toxic leader).
Tak sedikit kader yang lupa akan tujuan awal perjuangan yaitu wong cilik, mereka menikmati sejuknya udara kekuasaan, mereka berpesta, menari, berdansa dengan Jokowi yang memiliki tujuan pribadi.
PDI-P telah banyak berkorban mati-matian membela kader lugu ini, bahkan pembelaan yang berlebihan.
Selain itu, tak sedikit pula kader PDI-P yang menyadari peran intelijen gelap Jokowi yang mengadu domba antara partai ini dengan rakyat.
Sebuah penelitian yang dikeluarkan gabungan intelijen angkatan laut AS dan SRND (RAND) yang mengatakan bahwa paska reformasi Indonesia akan kembali ke era kediktatoran setelah perlahan-lahan bangkit dari keterperukan ekonomi dan demokrasi.
Adapun dua dari indikatornya adalah bahwa Partai sipil terlalu memberikan karpet merah pada pensiunan militer sehingga mereka memainkan peran intelijennya didalam tubuh partai, orang-orang yang dahulu dekat dengan kekuasaan orde baru diberikan wewenang berlebihan pula, sehingga mereka melampiaskan kembali pengalaman di era orde barunya (Angel Rabasa dan John Haseman : Military and Democracy in Indonesia, 2002).
Dalam suatu rapat internal atau lebih tepatnya diskusi internal PDIP yang dihadiri salah satunya kader militannya yaitu Ribka Tjiptaning, ia sedikit memaparkan tentang pengalaman politik masa lalu dan estimasi kondisi negara kedepan, dimana kekuasaan negara telah dikuasai kapitalisme.
Dan disana Ribka Tjiptaning menceritakan sejarah tentang kasus 27 Juli “KUDA TULI” yang menjalar, merembet menjadi reformasi sehingga adanya perubahan besar dalam politik negara, sehingga anak buruh bisa jadi Gubernur, anak petani menjadi Bupati dan Walikota, anak tukang kayu bisa menjadi presiden, soal sekarang anak tukang kayu “songong” dan cucunya juga songong itu lain kejadian, tegasnya.
Dalam diskusi tersebut, berdasarkan keterangan Ribka Tjiptaning bahwa Hasto melarang menyebut nama-nama tokoh, hal ini demi menghindari delik pidana, mengingat telah banyak orang yang dipenjarakan karena tuduhan ujaran kebencian.
Ribka Tjiptaning juga menyampaikan pesan Ibu Mega pada saat era orde baru agar jangan sebut nama, jalur hukum (mencontohkan gaya Ibu Mega), sekarang juga begitu ; jangan sebut nama, massa sudah gregetan soal nanti ada yang ketelapasan “Jokowi Anjing Kapitalis” oo.. jangan salahkan kita, namanya juga masa selalu ada yang nakal-nakal dikit, biasa saja itu.
Pada dasarnya Ribka Tjiptaning sedang menceritakan pengalaman pergerakan melawan kekuasaan, yang terkadang massa melakukan sesuatu yang dianggap sedikit nakal.
Dan ajakan untuk bersatu melawan kekuasaan yang buruk yang berpihak pada kapitalis, layaknya perlawanan zaman orde baru.
Seperti tulisan kami sebelumnya yang berjudul HGU Seratus Tahun Jokowi Melebihi Penjajah Belanda, dengan aturan multi kompleks ini telah membuat Indonesia keluar dari tujuan kemerdekaan sesuangguhnya yaitu membebaskan bangsa dari penjajahan ekonomi,
Terlepas dari dosa masa lalu PDI-P yang tak dapat dipisahkan dari pergerakan kebijakan investasi negara era Jokowi yang condong lebih buruk dari era kolonial dengan lahirnya OMNIBUS LAW, yang mengatur secara radikal untuk memonopoli investasi, sehingga memberikan 80-100 tahun lebih HGU dan hal ini lebih buruk dari UU Agraria Erfacht 1870 yang mengatur 75 Tahun HGU dengan sengaja untuk monopoli investasi.
Bangsa Indonesia harus mampu dan secara bersama menjaga kekuasaan yang cenderung korup dan feodal, seperti yang disebutkan oleh Putra Pajar bahwa bangsa Indonesia memiliki penyakit Minderwaarheids Compleks, penyakit yang timbul dari dampak terjajah yang begitu lama secara politik dan ekonomi.
Penyakit ini dimana, masyarakat desa minder dengan masyarakat kota, masyarakat kota manipulasi kemasyarakat desa, sombong dengan gelar-gelar pendidikan walupun tak punya kemanfaatan, menjilat terhadap kekuasaan dan feodal saat berkuasa.
Anjing Kapitalis diharapkan tidak ditarik dan diarahkan sebagai delik pidana terhadap Ribka Tjiptaning, ini adalah kritik moral agar kekuasaan terus berada sesuai tujuan kemerdekaan yaitu mandiri secara politik dan mendiri secara ekonomi. ***