Dalam perkembangan mengenai pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru, otorita telah memberikan ultimatum kepada masyarakat adat untuk meninggalkan wilayah IKN dalam kurun waktu tujuh hari.
Keputusan itu memicu kritik dari berbagai pihak. Salah satunya, Joeni Arianto Kurniawan SH MA PhD, Pakar Hukum Adat UNAIR.
Ia menyoroti tentang bagaimana regulasi dalam mengakomodir kebutuhan dan hak masyarakat adat.
Joeni menuturkan bahwa aturan hukum yang ada saat ini belum sepenuhnya mendukung masyarakat adat, terutama dalam kasus IKN.
“Undang-undang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, termasuk IKN, memang mengharuskan pemilik tanah untuk melepaskan hak mereka demi pembangunan untuk kepentingan umum,” ujarnya.
Meskipun Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menyediakan kerangka kerja untuk pengambilalihan tanah.
Menurut Joeni, masyarakat adat sering kali berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.
Secara konstitusional, Pasal 18B ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan perlindungan terhadap masyarakat adat dan hak tradisional mereka.
Namun, menurut Joeni, hingga saat ini belum ada undang-undang yang bisa berfungsi sebagai instrumen perlindungan masyarakat adat dalam akar permasalahan kasus penggusuran ini.
Joeni mengungkapkan bahwa masyarakat adat tidak dapat dengan mudah menggantikan tanah mereka dengan uang atau properti lain karena hubungan spiritual yang mereka miliki dengan tanah kelahiran mereka.
Ia menambahkan bahwa kompensasi yang layak harus mempertimbangkan nilai-nilai ini, bukan hanya nilai pasar tanah.
“Ketika kita berbicara tentang masyarakat adat, kita harus memahami bahwa mereka tidak dapat dengan mudah pindah atau menjual tanah mereka seperti orang lain. Mereka memiliki gaya hidup yang berbeda, yang sangat bergantung pada alam dan tradisi mereka,” ucapnya.
Lebih lanjut, Joeni menekankan pentingnya pemahaman negara terhadap nilai-nilai unik masyarakat adat.
“Masyarakat adat memiliki hubungan spiritual dengan tanah mereka yang tidak bisa terukur dengan nilai material. Sehingga, negara harus memperhatikan hal ini saat membuat kebijakan, terutama yang berkaitan dengan pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur.”
Joeni menilai, urgensi untuk mengadopsi standar internasional dalam perlindungan hak masyarakat adat.
Menurutnya, Indonesia sebagai penandatangan United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People (UNRIP) harus merujuk pada dua prinsip UNRIP dalam menjamin Hak Masyarakat Adat.
Salah satu prinsip utama yang Joeni soroti adalah Free Prior Informed Consent (FPIC).
Yaitu menuntut masyarakat adat diberikan informasi lengkap dan dimintai persetujuan mereka sebelum proyek yang mempengaruhi wilayah mereka dilaksanakan.
“Pemerintah harus melakukan konsultasi yang mendalam dengan masyarakat adat dan memastikan adanya persetujuan tanpa paksaan,” tandasnya.
Selain itu, Joeni juga menyoroti pentingnya prinsip partisipatif dalam proyek IKN ini. Menurutnya, masyarakat adat seharusnya terlibat secara langsung dalam segala macam aktivitas pembangunan.
Pakar Hukum Adat UNAIR itu juga menekankan bahwa regulasi pemerintah harus menjamin hak-hak masyarakat adat dalam mempertahankan pola hidup mereka.
Dalam hal ini, pemenuhan tersebut harus merujuk pada International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) sebagai instrumen hukum internasional.
Lebih lanjut, Joeni menekankan bahwa proses pembangunan IKN yang sudah terjadi seharusnya tidak memarjinalkan masyarakat adat dan bersifat inklusif.
Alih-alih, pemerintah harus memastikan bahwa polemik ini tidak merugikan masyarakat adat dengan mengatur regulasi secara spesifik.
“Perlu dibuat regulasi, baik dalam bentuk undang-undang atau peraturan pemerintah, yang menjamin bahwa pembangunan IKN tidak mengorbankan masyarakat marjinal, termasuk masyarakat adat. Yang mana hal ini sesuai dengan prinsip Sustainable Development Goals (SDGs), bahwa pembangunan harus dilakukan tanpa meninggalkan siapapun, termasuk masyarakat adat,” ulas Joeni.
Di akhir wawancara, Joeni menyerukan agar pemerintah dan pembuat kebijakan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia dalam merancang regulasi, terutama dalam kasus sensitif seperti penggusuran masyarakat adat dari wilayah IKN.
Diketahui, Nusantara secara resmi bernama Ibu Kota Nusantara adalah ibu kota masa depan Indonesia yang rencananya akan diresmikan pada 17 Agustus 2024, bersamaan dengan perayaan ulang tahun ke-79 Indonesia.
IKN direncanakan akan menggantikan Jakarta yang telah menjadi ibu kota sejak 1961.
Terletak di pantai timur pulau Kalimantan yang saat ini menjadi bagian dari provinsi Kalimantan Timur, IKN diperkirakan menjadi enklave dari provinsi tersebut, yang mencakup area seluas 2.560 km2 (990 sq mi), menampilkan lanskap berbukit, hutan, dan teluk.
Ibu Kota Nusantara diharapkan akan menjadi daerah otorita yang bersifat khusus dan memisahkan diri dari provinsi Kalimantan Timur.
Pembangunan Nusantara dimulai pada Juli 2022, pembukaan lahan dan pembuatan jalan akses, dengan pembangunan tahap pertama; zona area pusat pemerintahan yang terdiri dari kantor pemerintah, sekolah, dan rumah sakit dibangun pada bulan berikutnya.
Awalnya, 100.000 pekerja dari seluruh Indonesia akan dikirim ke lokasi Nusantara untuk memulai konstruksi pada Juli 2022.
Proyek pembangunan ini dikritik oleh ormas-ormas lokal dari Kalimantan Timur karena mengimpor tenaga kerja dari luar provinsi,[9] Presiden Joko Widodo memerintahkan Pemprov DKI untuk memperbanyak tenaga kerja antara 150.000 dan 200.000 pekerja untuk memastikan partisipasi pekerja lokal untuk bekerja di konstruksi Nusantara.
Pada April 2017, pemerintahan presiden Joko Widodo mempertimbangkan untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta, dengan rencana untuk menyelesaikan penilaian situs alternatif potensial untuk ibu kota baru Indonesia pada akhir 2017.
Menurut seorang pejabat dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia, pemerintah bertekad untuk memindahkan ibu kota Indonesia keluar dari Pulau Jawa.
Tak lama setelah rencana itu diumumkan, Joko Widodo mengunjungi dua lokasi alternatif di Kalimantan yaitu Bukit Soeharto di Kalimantan Timur dan Kawasan Segitiga dekat Palangka Raya di Kalimantan Tengah.
Pada April 2019, rencana 10 tahun untuk memindahkan semua kantor pemerintah ke ibu kota baru diumumkan.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional merekomendasikan tiga provinsi yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur yang memenuhi syarat ibu kota baru, termasuk bebas dari gempa bumi, tsunami dan gunung berapi.
Presiden Joko Widodo bersama Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor mengunjungi lokasi Nusantara.
Pada 23 Agustus 2019, Joko Widodo menyerahkan Surat Presiden R-34/PRES/08/2019 yang dilampiri dua arahan, yaitu Laporan Kajian Presiden tentang Pemindahan Ibu Kota, dan Permintaan Dukungan DPR untuk Pemindahan Ibu Kota.
Selama pidato kenegaraan 2019 di parlemen pada 26 Agustus, Joko Widodo mengumumkan rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan.
Sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur akan diukir untuk menciptakan kota terencana tingkat provinsi baru di lokasi yang lebih sentral di Indonesia.
Rencana tersebut merupakan bagian dari strategi untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antar pulau Jawa dan pulau-pulau lain di kepulauan Indonesia serta untuk mengurangi beban Jakarta sebagai hub utama Indonesia.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional memperkirakan biaya relokasi sebesar Rp466 triliun (US$32,7 miliar) dan bahwa pemerintah bermaksud untuk menutupi 19% dari biaya, sisanya terutama berasal dari kemitraan publik–swasta dan investasi langsung oleh perusahaan milik negara dan sektor swasta.
Pada saat yang sama, Rp692 triliun akan dialokasikan untuk menyelamatkan Jakarta dari tenggelam dalam dekade berikutnya.
Awal September 2021, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemindahan Ibu Kota sudah selesai. Pada 29 September tahun yang sama, pemerintahan Joko Widodo mengajukan omnibus RUU pemindahan ibu kota kepada Dewan Perwakilan Rakyat (majelis rendah parlemen Indonesia).
Di antara banyak item yang ditentukan dalam RUU itu, itu berisi rencana pembentukan Otoritas Ibu Kota, badan khusus yang bertanggung jawab kepada ibu kota baru dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Badan baru ini memiliki kualitas seperti kementerian di mana pemegang jabatan akan ditunjuk oleh Presiden, tetapi dengan kemampuan pemerintahan khusus yang mirip dengan gubernur provinsi.
Ini juga akan mengatur bagaimana Otoritas Ibu kota akan mengelola pendanaan, perpajakan, retribusi, dan asetnya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2022
Pada tanggal 15 Februari 2022, RUU ditetapkan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2022.
Karena rencana itu diajukan di tengah masa jabatan kedua Joko Widodo sebagai presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kembali mengeluarkan amendemen undang-undang untuk menetapkan kembali kemampuan MPR dalam menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara, (PPHN), mirip dengan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) orde baru.
Ini untuk memberikan keamanan dan keberlanjutan proyek dan memastikan kelanjutannya setelah Joko Widodo tidak lagi di kursi kepresidenan.