Jakarta tengah diramaikan oleh insiden yang cukup mencengangkan, dimana terjadi dugaan penguntitan oleh anggota Densus 88 terhadap salah satu pejabat tinggi di Kejaksaan Agung, yaitu Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Adriansyah.
Insiden yang terjadi di sebuah restoran di Cipete, Jakarta Selatan ini, bukan hanya menimbulkan pertanyaan besar tentang motif di balik penguntitan tersebut, tapi juga memicu spekulasi mengenai ketegangan antar lembaga penegak hukum di Indonesia.
Pada suatu malam di restoran yang menyajikan kuliner Prancis di Cipete, Febrie Adriansyah kedapatan sedang makan malam bersama ajudannya.
Tidak lama, kehadiran dua pria yang diduga kuat merupakan anggota Densus 88 menambah ketegangan.
Mereka datang berpakaian santai dan satu di antara mereka bahkan sempat meminta meja di lantai dua dengan alasan ingin merokok.
Namun, tindakan selanjutnya yang diambil oleh anggota Densus 88 ini cukup mencurigakan.
Dengan tetap mengenakan masker dan sesekali menyedot rokok, salah satu dari mereka terlihat mengarahkan alat yang diduga sebagai perekam ke arah ruangan VIP tempat Febrie berada.
Ini tentu saja memicu kecurigaan dari polisi militer yang mengawal Febrie.
Setelah insiden tersebut, Febrie segera menghubungi Kabareskrim Polri untuk meminta klarifikasi atas kejadian yang menimpa dirinya.
Namun, jawaban yang diterima justru semakin membingungkan karena Komjen Wahyu Widada, Kabareskrim Polri, mengklaim tidak mengetahui apa-apa tentang insiden tersebut dan bahkan meminta agar anggota Densus yang tertangkap dibebaskan.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang saat itu berada di Bali untuk pengamanan WWF, belum memberikan penjelasan mendetail terkait kejadian ini.
Pihak Kejaksaan Agung pun terkesan tutup mulut dengan Ketut Sumedana dari Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung yang mengatakan bahwa ia belum mendapatkan informasi mengenai insiden tersebut.
Salah satu teori yang berkembang adalah bahwa penguntitan ini terkait dengan kasus korupsi besar yang sedang ditangani oleh Febrie, termasuk kasus tambang di Bangka Belitung.
Febrie, yang belakangan ini dikawal oleh polisi militer TNI, memang sering mendapatkan intimidasi selama penyelidikan kasus tersebut.
Ini menimbulkan dugaan bahwa penguntitan mungkin merupakan bagian dari upaya intimidasi atau pengawasan yang lebih luas.
Kejadian ini tidak hanya mengganggu kenyamanan Febrie tetapi juga berpotensi memicu ketegangan antara Polri dan Kejaksaan Agung.
Ketidakjelasan motif dan minimnya informasi yang diberikan oleh pihak berwenang membuat spekulasi terus berkembang di kalangan masyarakat dan media.
Insiden penguntitan ini membuka mata banyak pihak bahwa masih banyak misteri dan dinamika internal yang terjadi di antara lembaga penegak hukum di Indonesia.
Transparansi dan komunikasi yang efektif antara lembaga-lembaga tersebut sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa setiap tindakan yang diambil benar-benar dalam rangka penegakan hukum yang adil dan tidak tercemar oleh kepentingan-kepentingan tertentu. ***