Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Soal Revisi UU MK, Disebut "Jurus Mabuk" Politisi Menabrak Konstitusi

 

Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menyebut, politisi menjadi batu sandungan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menegakkan konstitusi.

Hal itu dikatakannya menanggapi revisi terhadap Undang-Undang (UU) Mahkamah Konstitusi (MK) yang secara tiba-tiba diputuskan draf rancangannya dibawa ke paripurna DPR RI.

Bukan tanpa alasan, Feri mengatakan hal itu berkaca pada kasus pergantian hakim konstitusi Aswanto oleh DPR RI, yang dinilai melanggar ketentuan dalam Undang-Undang MK.

“(Hakim Aswanto) tidak ada kesalahan sehingga diganti, diberhentikan dengan hormat lho itu artinya tidak ada kesalahan. (Pergantian itu) melanggar Undang-Undang (MK) karena mustinya masa jabatannya belum habis,” kata Feri dalam program Obrolan Newsroom bersama Kompas.com, Selasa (14/5/2024).

Dalam Pasal 23 UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK disebutkan bahwa hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat dengan alasan meninggal dunia, mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, telah berusia 70 tahun, dan sakit jasmani atau rohani terus menerus selama tiga bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

Baca juga: Revisi UU MK Bukan soal Penegakkan Konstitusi, Ini soal Kepentingan Politik Jangka Pendek

Selain itu, menurut Feri, proses penunjukkan penggantinya oleh DPR tidak dibuka dan terbuka. Tiba-tiba hanya ada calon tunggal.

Tak hanya mengotak-atik MK, dia juga mengatakan bahwa proses pelemahan juga dilakukan oleh politisi terhadap lembaga pengawasan lain.

"Sebenarnya konstitusi kita itu sudah membangun elemennya sendiri cuma politisi kita itu yang memperlemah lembaga pengawas. KY (Komisi Yudisial) diperlemah, KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) dihancurkan, KPU (Komisi Pemilihan Umum) dibuat tidak mandiri,” ujar Feri.

"MK juga harus kita akui sebagai lembaga yang mustinya jadi penjaga konstitusi kita dibuat berantakan seperti ini,” katanya melanjutkan.

Oleh karena itu, Feri mempertanyakan dasar dari revisi UU MK yang lagi-lagi menyasar soal masa jabatan hakim konstitusi.

“Harus diakui kalau MK hancur lebur, ya hampir tidak ada harapan kita sebagai publik untuk mengadukan rasa keadilan ini mau dibawa ke mana,” ujarnya.

Dia lantas menyinggung bahwa manuver politik yang benar tetap harus berada di koridor, yakni konstitusi. Bukan sebaliknya, yakni menabrak konstitusi.

“Politik yang elegan itu, menurut saya, karena politisi itu dibatasi konstitusi jadi mereka harus bermain di koridor. Politik yang cantik itu adalah yang permainan di koridor itulah yang hebat, bukan menerabas koridor itu lalu dibilang hebat,” kata Feri.

Oleh karena itu, Feri berpandangan bahwa apa yang terjadi belakangan ini, termasuk dengan adanya revisi UU MK adalah permainan politik yang menabrak koridor.

“Itu bukan seni dalam politik kalau nabrak-nabrak koridor itu. Itu yang memang jurus mabuk saja cuma mau diakui seni dalam berpolitik. Dan apa yang terjadi akhir-akhir ini memperlihatkan itu, jurus mabuk yang kemudian membanggakan diri saja,” ujarnya.

Diam-diam diputus dibawa ke paripurna

Sebagaimana diberitakan, Komisi III dan Pemerintah sepakat membawa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) ke pengambilan keputusan tingkat II di rapat paripurna.

Keputusan itu diambil dalam rapat kerja Komisi III DPR bersama Menteri Koordinator Politik Hukum dan, Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly yang mewakili pemerintah di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (13/5/2024).

Menariknya, rapat kerja tersebut digelar saat DPR masih dalam masa reses, yakni sejak 5 April 2024 hingga 13 Mei 2024.

Namun, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, rapat pleno pengambilan keputusan tingkat I mengenai revisi MK tersebut sudah mendapat izin dari pimpinan DPR.

"Ya seharusnya kalau ada pembahasan di masa reses harusnya sudah izin pimpinan, dan itu sudah saya cek ada izin pimpinannya," ujar Dasco saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa.

Baca juga: Revisi UU MK Disepakati Dibawa ke Paripurna: Ditolak di Era Mahfud, Disetujui di Era Hadi

Aturan masa jabatan hakim konstitusi

Dalam draf revisi UU MK yang diterima Kompas.com, diselipkan Pasal 23A terkait masa jabatan hakim konstitusi.

Dalam ayat (1) disebutkan bahwa masa jabatan hakim konstitusi adalam 10 tahun.

Kemudian, revisi UU MK terbaru juga memuat aturan bahwa hakim konstitusi yang telah menjabat selama lima tahun dikembalikan kepada lembaga pengusul.

Untuk diketahui, ada tiga lembaga pengusul hakim MK, yakni DPR, Mahkamah Agung, dan Presiden.

Aturan mengenai permintaan persetujuan kembali ke lembaga pengusul termaktub dalam Pasal 87.

Pasal 87 huruf a berbunyi, "hakim konstitusi yang telah menjabat lebih dari 5 tahun dan kurang dari 10 tahun, melanjutkan jabatannya sampai dengan 10 tahun sejak tanggal penetapan Keputusan Presiden mengenai pengangkatan pertama hakim konstitusi yang bersangkutan jika mendapat persetujuan dari lembaga pengusul".

Huruf b berbunyi, "hakim konstitusi yang sedang menjabat dan masa jabatannya telah lebih dari 10 tahun, masa jabatannya berakhir mengikuti usia pensiun 70 tahun berdasarkan undang-undang ini, selama masa jabatannya tidak melebihi 15 tahun sejak tanggal penetapan Keputusan Presiden mengenai pengangkatan pertama hakim konstitusi yang bersangkutan".

Sumber Berita / Artikel Asli: kompas

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Onlineindo.TV | All Right Reserved