Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata kaget dengan putusan sela majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang menerima eksepsi atau nota keberatan Hakim Agung nonaktif Mahkamah Agung (MA) Gazalba Saleh. Dalam putusan sela itu, hakim memerintahkan KPK untuk membebaskan Gazalba Saleh dari tahanan.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai jaksa KPK tidak berwenang menuntut Gazalba Saleh dalam perkara dugaan gratifikasi dan tindak TPPU karena tidak menerima pelimpahan kewenangan penuntutan terhadap Gazalba Saleh dari jaksa agung. Alex menilai, pertimbangan majelis hakim itu ngawur.
"Aduh, baru kali ini hakim Tipikor mengabulkan eksepsi terdakwa. Pertimbangannya pun menurut saya ngawur," kata Alex dikonfirmasi, Senin (27/5).
Alex menjelaskan, jika menggunakan logika sesuai pertimbangan hakim tersebut, perkara yang dituntut KPK selama 20 tahun juga tidak sah. Sebab, direktur penuntutan dan jaksa KPK diangkat dan diberhentikan pimpinan sesuai amanat UU KPK.
"Pertimbangan hakim sama saja dengan mencabut kewenangan pimpinan KPK untuk mengangkat dan memberhentikan jaksa KPK," tegas Alex.
Dengan pertimbangan hakim itu, pimpinan KPK tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi jaksa-jaksa KPK. Hal ini karena jaksa bertanggungjawab kepada Jaksa Agung berdasarkan pendelegasian wewenang.
"Dengan putusan tersebut kewenangan penuntutan KPK yang diatur UU menjadi tidak ada," ucap Alex.
Pimpinan KPK dua periode ini menyatakan, putusan sela itu berdampak serius terhadap eksistensi KPK. Menurutnya, perkara-perkara yang ditangani KPK akan terhenti dengan putusan hakim tersebut.
"Sekali lagi menurut saya ini putusan konyol," tegasnya.
Karena itu, KPK akan mengambil sikap setelah menerima salinan putusan sela Gazalba Saleh ini. Alex meminta Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial (KY) untuk memeriksa majelis hakim Pengadilan Tipikor yang menerima eksepsi Gazalba Saleh.
"Direktur penuntutan KPK direkrut lewat proses rekruitmen. Direktur penuntutan diangkat dan diberhentikan oleh pimpinan. SK selaku direktur penuntutan ditandatangani oleh pimpinan, bukan oleh jaksa agung," cetus Alex.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat sebelumnya menerima nota keberatas alias eksepsi Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Gazalba Saleh didakwa menerima gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA).
Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri menyatakan, Jaksa KPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan terhadap Gazalba Saleh. Pasalnya, Direktur Penuntutan (Dirtut) KPK tidak mendapatkan delegasi untuk menuntut Hakim Agung dari Jaksa Agung RI.
“Jadi ini tidak masuk kepada pokok perkara, biar saya jelaskan, ini hanya persyaratan (harus dimiliki Jaksa) kalau ada surat itu (delegasi Jaksa Agung), sudah ada surat itu bisa diajukan lagi,” ucap Hakim Fahzal Hendri dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Senin (27/5).
“Jadi hanya formalitasnya saja, karena ini yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa, kami pertimbangkan dan putusannya seperti itu,” ucapnya.
Menurut Hakim, meski KPK secara kelembagaan memiliki tugas dan fungsi penuntutan, tetapi jaksa yang ditugaskan di KPK dalam hal ini Direktur Penuntutan KPK tidak pernah mendapatkan pendelegasian kewenangan penuntutan dari Jaksa Agung RI selaku penuntut umum tertinggi, sesuai dengan asas single procession system.
Menurutnya, surat perintah Jaksa Agung RI tentang penugasan jaksa untuk melaksanakan tugas di lingkungan KPK dalam jabatan Direktur Penuntutan pada Sekretaris Jenderal KPK tidak definitif.
Dengan demikian, jika Jaksa KPK tidak memperoleh pendelegasian wewenang sebagai penuntut umum dari Jaksa Agung maka Jaksa KPK tidak bisa melakukan penuntutan terhadap Hakim Agung.
Karena itu, Majelis Hakim sependapat dengan tim hukum Gazalba yang menilai Jaksa KPK tidak menerima pelimpahan kewenangan penuntutan terhadap Gazalba Saleh dari Jaksa Agung. Adapun ketentuan menuntut Hakim Agung ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI.
“Jadi hanya alasan pendapatan majelis hakim terhadap adanya UU nomor 11 tahun 2021 tentang Kejaksaan Agung RI,” tegas Hakim Fahzal.
“Kira-kira begitu ya penuntut umum, silakan dilengkapi surat surat nya, administrasinya, pendelegasian nya, kalau ada, diajukan lagi bisa kok. Ini hanya formalitas saja,” imbuhnya.
Dalam kasusnya, Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh didakwa menerima gratifikasi dan tindak pidak pidana pencucian uang (TPPU) oleh JPU KPK. Gazalba didakwa bersama-sama dengan Ahmad Riyad menerima Rp 650 juta dari Jawahirul Fuad terkait pengurusan perkara kasasi di Mahkamah Agung (MA) dengan Nomor Perkara 3679 K/PID.SUS-LH/2022.
Gazalba Saleh juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang bersama-sama dengan Edy Ilham Shooleh dan Fify Mulyani sejak 2020 sampai dengan 2022. Gazalba menerima sebesar Rp 37 miliar dari Jaffar Abdul terkait pengurusan perkara Peninjauan Kembali (PK). Uang itu diterima Gazalba bersama advokat Neshawaty Arsjad.
Gazalba juga disebut menerima gratifikasi dari 2020 sampai 2022 sebesar SGD 18.000 sebagaimana dakwaan pertama, dan penerimaan lain SGD 1.128.000. Kemudian, USD 181.000, serta Rp 9.429.600.000.
Gazalba turut membelanjakan, membayarkan dengan tujuan menyembunyikan asal usul harta kekayaannya. Gazalba Saleh disebut telah membeli satu unit Toyota New Alphard, satu bidang tanah dan bangunan di Jagakarsa, Jakarta Selatan, satu bidang tanah dan bangunan di Tanjungrasa Kabupaten Bogor, satu bidang tanah dan bangunan di Citra Grand Cibubur Cluster Terrace Garden.
Kemudian membayarkan pelunasan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) satu unit rumah di Sedayu City Kelapa Gading Cluster Eropa Abbey Road 3 sejumlah Rp 2,9 miliar. Selain itu, menukarkan mata uang asing SGD 139.000 dan USD 171.100 menjadi mata uang rupiah sejumlah Rp 3.963.779.000.
Sehingga, total penerimaan gratifikasi dan TPPU yang dilakukan Gazalba Saleh seluruhnya sebesar Rp 62,9 miliar.
Gazalba didakwa melanggar Pasal 12 B jo Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Gazalba Saleh juga didakwa melanggar Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 65 ayat 1 KUHP