Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

'Membaca Manuver Nasdem dan PKB'

 

Oleh: H. Agus Sutisna - Peneliti FISIP Universitas Muhammadiyah TangerangOleh: H. Agus Sutisna - Peneliti FISIP Universitas Muhammadiyah Tangerang

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan PHPU Pilpres 2024 konstelasi politik nasional berubah lumayan cepat. Diawali dengan penerimaan dan sikap hormat atas putusan MK oleh dua kubu Paslon penggugat yang disertai ucapan selamat. Hingga ke pernyataan kesiapan dan bakal bergabungnya Nasdem dan PKB, dua parpol pengusung Anies-Muhaimin, ke kubu pemerintahan yang kelak bakal dipimpin Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Kedua hal itu, motif dan faktor kepolitikan menjadi jembatan penghubung bertemunya kepentingan masing-masing pihak. Yakni pihak Prabowo Subianto sebagai Capres terpilih di satu sisi dengan pihak Nasdem-Paloh dan PKB-Muhaimin.

Pragmatisme Politik

Motif sekaligus faktor pertama dari perubahan cepat sikap politik Nasdem-Paloh dan PKB-Muhaimin adalah menyangkut soal watak pada umumnya para politisi kita yang pragmatis. Jika politik dan dalam berpolitik dipercaya memiliki nilai yang harus diperjuangkan, maka pragmatisme inilah nilai tertinggi yang memahkotai perjuangan itu.

Pragmatisme politik atau politik pragmatis dalam konteks diskusi ini secara sederhana dapat dimaknai sebagai sikap dan cara berpolitik yang lebih mengedepankan pertimbangan-pertimbangan “kemanfaatan, kegunaan, atau keuntungan” yang bersifat personal atau kelompok dari suatu pilihan sikap dan tindakan politik.

Pragmatisme politik adalah lawan dari idealisme politik. Para elit yang berwatak pragmatis menjadikan politik sebagai sarana untuk semata-mata menarget dan mencapai tujuan-tujuan pribadi atau kelompok. Bisa kekuasaan, jabatan, kedudukan, kekayaan, popularitas dan aspek-aspek lain yang setara dengan ini.

Untuk mewujudkan target-target tujuan personal dan kelompoknya cara apapun bisa mereka lakukan. Termasuk yang berkarakter Machiavellian sekalipun, menganggap segala cara menjadi halal. Mereka berpolitik tanpa landasan moral dan etik, mengesampingkan integritas. Dalam kasus Nasdem dan PKB tentu saja termasuk melupakan dengan gampang jutaan suara pemilih yang menginginkan perubahan.

Pilpres sudah selesai. Nasdem dan PKB berada di kubu koalisi yang kalah. Kekalahan adalah kehilangan segalanya, kecuali idealisme dan spirit memperjuangkannya tanpa henti. Tapi sekali lagi, dalam pikiran elit-elit pragmatik, idealisme adalah omong kosong. Bertahan di sisinya adalah sikap yang tidak realistis, tidak akan menghasilkan apapun yang dibutuhkan untuk menjaga kehormatan dan kedigdayaan politik pribadi maupun kelompoknya.

Maka pilihannya tinggal satu: segera bergabung kedalam kubu yang bakal memerintah dan diendors rezim yang kemarin-kemarin dikritisinya habis-habisan di musim kampanye. Dengan cara demikian, setidaknya satu dua kursi jabatan menteri di Kabinet bisa diraih.

Seperti pernah dikatakan Anies di panggung kampanya tempo hari, menjadi oposisi memang berat. Kala itu narasi telak Anies diarahkan kepada Prabowo yang tidak tahan menjadi oposisi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Kini, belum lagi pemerintahan baru hasil Pemilu dimulai, kubu yang sejatinya siap menjadi oposisi karena kalah kontestasi, sudah lempar handuk, menyerah sebelum mencoba menjalaninya.

Apakah dengan demikian dapat disimpulkan bahwa narasi besar tentang perubahan yang terlanjur telah menghipnotis puluhan juta massa yang kemarin diusung Anies-Muhaimin sekadar basa-basi, “omon-omon” belaka? Tidak juga. Saat itu, saya yakin Nasdem dan PKB (termasuk PKS tentu saja) serta para elitnya serius mengusung narasi perubahan.

Tetapi watak para pragmatik sejatinya memang tidak akan pernah bisa ajeg dan konsisten. Konsistensi mereka hanya ada pada satu soal, yakni ketidak-konsistenan itu sendiri. Begitu fakta politik baru yang mereka hitung tidak akan memberikan keuntungan materi (dan segera) muncul, maka dengan sigap dan sat-set mereka mengubah haluan.

Itulah yang sedang dipertontonkan elit Nasdem dan PKB kepada rakyat, terutama kepada para penyokong narasi besar perubahan yang sudah ikut berjuang habis-habisan sebelum dan selama masa kampanye kemarin. Meminjam istilah Tempo.co, “iman politik” mereka lemah.

Dan bagi jutaan rakyat yang kemarin berbaris mendukung narasi perubahan dengan tulus hingga rela bertengkar di medsos, belanja atribut kampanye sendiri, teriak-teriak menyuarakan perubahan, lemahnya iman politik para elit kedua parpol ini jelas memilukan.

Lantas bagaimana dengan PKS? Kabar santer yang tersiar PKS juga akan memberikan “karpet merah” untuk Prabowo. Partai yang dikenal memiliki basis massa militan dan istiqomah ini juga nampaknya sudah lelah menjadi oposisi selama dua periode pemerintahan. Jika akhirnya PKS juga mengikuti jejak Nasdem dan PKB, maka sempurnalah sudah kepiluan para pendukung tanpa jejak pamrih itu.

Mengontrol Kendali Jokowi

Selain karena dorongan atau motif ikut menjadi bagian dari kekuasaan pemerintah dari kubu koalisi yang kalah, faktor lain yang memengaruhi cepatnya perubahan konstelasi politik pasca putusan MK berasal dari Prabowo sendiri, tetapi belum tentu merupakan kesepakatan bersama dengan parpol-parpol pendukungnya.

Ada dua faktor yang mendorong Prabowo merasa perlu untuk mengajak gabung Nasdem dan PKB, bahkan mungkin juga PKS kedalam pemerintahannya nanti.

Pertama, untuk memperbesar barisan dukungan politik bagi pemerintahannya. Hal ini penting untuk memastikan pemerintahannya nanti berjalan efektif karena dukungan parlemen yang memadai. Seperti kita tahu saat ini, kumulasi suara 4 partai pendukung Prabowo (Gerindra, Golkar, PAN dan Demokrat) berdasarkan hasil Pemilu 2024 hanya berada di kisaran angka 43 persenan. Angka yang riskan untuk memuluskan setiap kebijakan dan program pemerintah.

Dengan bergabungnya Nasdem dan PKB, dukungan politik di parlemen akan membengkak menjadi sekitar 63 persenan. Angka yang cukup aman secara politik untuk menjaga stabilitas pemerintahan Prabowo-Gibran sekaligus memastikan efektifitas jalannya pemerintahan baru nanti. Terlebih lagi jika PKS akhirnya juga menyusul, mengakhiri lelahnya menjadi oposisi.

Kedua, untuk menciptakan keseimbangan pengaruh politik di tubuh pemerintahannya. Sebagaimana sudah menjadi pengetahuan publik, di belakang Prabowo-Gibran ada figur Jokowi yang hingga saat ini amat dominan pengaruh politiknya. Gejala ini nampak sejak proses kandidasi dan kampanye Pilpres kemarin hingga saat ini.

Dalam beberapa kesempatan misalnya, sejumlah elit di kubu Prabowo-Gibran dengan jelas mengemukakan, bahwa Jokowi akan dilibatkan dalam penyusunan kabinet Prabowo-Gibran. Wajar secara politik karena kontribusi elektoral Jokowi atas kemenangan Prabowo-Gibran, meski kurang elok secara etik.

Tetapi terlepas dari kontroversi “wajar dan kurang elok” itu, Prabowo sendiri tentu saja menghendaki kekuasaannya sebagai Presiden otonom dan power full sebagaimana layaknya Presiden dalam sistem presidensil. Ia kepala pemerintahan sekaligus kepala negara.

Namun di sisi lain, Prabowo pasti menyadari bahwa keberhasilannya memenangi kontestasi tidak mungkin dilepaskan dari peran dan pengaruh Jokowi. Telebih lagi, fakta politik bahwa Wapres yang mendampinginya adalah putra Jokowi sendiri. Prabowo tidak mungkin mengabaikan Jokowi, tetapi juga pasti tidak ingin Jokowi terlibat terlalu jauh apalagi mendominasi dalam pemerintahannya kelak.

Bertolak dari situasi dilematis itulah saya kira Prabowo memang perlu mengambil langkah taktis. Soal langkah ini, sebelum membuat kesepahaman dengan Nasdem-Paloh dan PKB-Muhaimin, Prabowo sebetulnya sudah berusaha untuk membangun komunikasi dengan Megawati-PDIP. Tujuan akhirnya sangat mungkin mengajak Megawati-PDIP bergabung dalam pemerintahannya.

Tapi ikhtiar itu nampaknya gagal, setidaknya hingga hari ini agenda pertemuan Prabowo-Megawati belum terlaksana. Dan boleh jadi memang tidak akan pernah terwujud. Bisa karena Prabowo mempertimbangkan posisi Jokowi, atau sebaliknya, hal ini memang disarankan oleh Jokowi sendiri. Kita tahu, hubungan Megawati-Jokowi kini sudah benar-benar selesai.

Seandainyapun besok atau lusa Prabowo-Megawati bertemu, saya kira tidak serta merta bisa disimpulkan bahwa PDIP akan bergabung juga dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Berbeda dengan Nasdem dan PKB yang sat-set membangun kesepahaman. Ada situasi kebatinan pada Megawati yang bakal menghalangi kebersamaannya dengan Prabowo yang dialamnya ada Jokowi dan Gibran.

Jadi, langkah Prabowo mengajak Nasdem-Paloh dan PKB-Muhaimin gabung dalam pemerintahannya nanti, selain untuk memastikan besaran dukungan politik yang memadai di parlemen, nampaknya juga dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan pengaruh di tubuh pemerintahannya. Dalam kontkes ini maksudnya tidak lain agar Jokowi tak terlampau jauh mendominasi jalannya pemerintahan dan kebijakan-kebijakan politiknya di kemudian hari. ***

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Onlineindo.TV | All Right Reserved