Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

'Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari, Bisa Segera Diproses Sebagai Tersangka'

 

Ketua KPU RI, Hasyim Ashari, yang diduga terlibat dalam perilaku asusila—dikenal dengan idiom “dendeng basah”—dapat segera diproses dan langsung dinyatakan sebagai tersangka.

Perbuatannya dianggap sebagai tindak pidana umum bahkan delik yang dapat dianggap sebagai temuan langsung oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo, berdasarkan pasal 108 ayat (2) KUHAP.

Dengan catatan, jika laporan kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada Kamis, 18 April 2024, oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) dan partner hukumnya terkait kasus asusila Hasyim terhadap klien LBH APIK, seorang perempuan petugas PPLN (Panitia Pemilihan Luar Negeri), hasil sidang etik DKPP terhadap Hasyim menyatakan bahwa “Terbukti melanggar dan dikenakan sanksi hukum.”

Berdasarkan temuan hukum oleh publik serta penyelidikan oleh penyidik Polri sendiri, Hasyim Ashari, Ketua KPU RI, berpotensi untuk segera diproses hukum.

Hal ini diperkuat oleh putusan DKPP terhadap Hasyim yang menyatakan adanya pelanggaran etik. Polri memiliki kewenangan untuk memproses hukum Hasyim, terutama karena ini bukan kali pertama Hasyim diputus bersalah oleh DKPP.

Sebelumnya, Hasyim pernah diputus bersalah atas laporan Hasnaeni, alias wanita emas, dalam kasus serupa yang dikenal dengan istilah “dendeng basah,” di mana Hasyim diduga melakukan tindakan asusila melalui bujuk rayu dan penyalahgunaan kekuasaan atau jabatannya.

Perilaku Hasyim terhadap Hasnaeni dan seorang perempuan petugas PPLN ini tergolong sebagai tindak pidana umum.

Tindakan tersebut menunjukkan penyalahgunaan kekuasaan yang tercela dan melanggar asas proporsionalitas, kredibilitas, dan akuntabilitas sesuai dengan UU No.28 Tahun 1999 dan TAP MPR RI No. 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

Selain itu, tindakan asusila yang dilakukan oleh Hasyim bukan karena suka sama suka, melainkan termasuk kategori kejahatan verbal dengan adanya intimidasi dan tekanan moral yang disebabkan oleh jabatannya.

Oleh karena itu, tindakan Hasyim patut diduga sebagai tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) sesuai dengan Pasal 65-66 KUHP.

Saat ini, perilaku Hasyim sedang dalam proses sidang etik oleh DKPP berdasarkan laporan dari LBH APIK dan partner hukum mereka. Sidang ini berlangsung setelah tanggal 14 Februari 2024, atau setelah pengumuman hasil pemilu oleh KPU.

Jika sidang etik ini kembali memutuskan bahwa Hasyim bersalah, maka penyidik Polri memiliki dasar hukum yang kuat untuk memprosesnya lebih lanjut.

Atas kausalitas hukum yang ada terkait Hasyim, penyidik dapat dengan mudah menindaklanjuti perkara a quo in casu jika sudah ada putusan dari DKPP berdasarkan laporan LBH APIK terkait petugas PPLN. Putusan ini didasari oleh putusan DKPP sebelumnya atas laporan Hasnaeni.

Secara teori asas-asas hukum pidana, perilaku Hasyim merupakan kumulasi tindak pidana atau pengulangan perbuatan (concursus atau samenloop) dalam kategori concursus realis, sesuai dengan Pasal 65-66 KUHP.

Memang, normatif sesuai sistem hukum UU tentang Pemilu, hasil sidang etik DKPP yang berbunyi putusan “terbukti adanya pelanggaran” adalah prasyarat sebelum penyidik Polri memulai proses sesuai yurisdiksi mereka.

Sebagai bukti penguat pendapat hukum ini, bahwa perbuatan delik Hasyim ini berulang (konkursus realis) yang merupakan ranah pidana umum dan merupakan delik aduan yang sudah dilaporkan oleh korban serta diketahui oleh publik (notoire feiten notorius).

Secara hukum, hal ini tidak membutuhkan laporan atau aduan lagi kepada pihak penyidik, melainkan cukup konfirmasi kepada korban dan langsung investigasi kepada pelaku, yaitu Hasyim, dengan menggunakan asas progresif berdasarkan perspektif dan substantif Pasal 108 ayat (2) KUHAP: “bahwa setiap orang wajib melaporkan jika mengetahui adanya tindak pidana kepada pihak kepolisian.”

Sehingga, perbuatan delik kumulatif atau concursus yang dilakukan Hasyim dapat menjadi dalil temuan para penegak hukum, termasuk Kapolri Listyo Sigit Prabowo.

Peristiwa hukum yang bergulir menunjukkan bahwa perkara a quo Hasyim bukanlah pelanggaran yang harus melalui laporan ke BAWASLU, melainkan masuk ke ranah pidana umum.

Oleh karena itu, perdebatan terkait yurisdiksi kompetensi tingkah laku penyuka “dendeng basah” ini adalah hal yang mubazir dan tidak perlu berkepanjangan.

Yang diperlukan adalah tindakan konkret dari penyidik Polri untuk memproses, menangkap, dan menahan Hasyim Ashari.

Langkah ini akan membuktikan bahwa Pemerintah RI berpegang pada hukum dan melaksanakan fungsi hukum demi manfaat hukum dengan efek jera, kepastian, serta keadilan. ***

Sumber Berita / Artikel Asli : fusilatnews

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Onlineindo.TV | All Right Reserved