Anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror diduga menguntit Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaaan Agung (Jampidsus Kejagung) Febrie Adriansyah saat makan malam di salah satu restoran di Cipete, Jakarta Selatan, beberapa hari yang lalu.
Dalam penguntitan tersebut, salah satu anggota Densus 88 anti-teror turut diamankan untuk dilakukan interogasi dan telah dibebaskan setelah dijemput oleh pihak Paminal Mabes Polri.
Penguntitan dan pengintaian yang diduga dilakukan beberapa anggota Densus 88 tersebut merupakan rentetan sebelum aksi konvoi sejumlah anggota polisi membawa senjata api (senpi), laras panjang dan mengerahkan dua kendaraan rantis brimob yang terparkir dan berdiam beberapa menit di depan gerbang masuk Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung).
Aksi konvoi anggota polisi menggunakan kendaraan roda dua dan membawa senpi laras panjang dan dua kendaraan rantis memutari atau mengelilingi gedung Kejagung sebanyak beberapa kali pada Senin malam dalam beberapa hari ini, menimbulkan tanda tanya besar di balik aksi konvoi tersebut.
Lantas apa motif dan tujuan sejumlah anggota polisi melakukan aksi konvoi di belakang gedung Kejagung?
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua LP3HI, Kurniawan Adi Nugroho memertanyakan bahwa aksi penguntitan yang dilakukan sejumlah anggota Densus 88 anti-teror Polri itu apakah adanya perintah dari atasannya atau perwira polri yang pangkatnya lebih tinggi.
Ia meminta untuk dilakukan penelusuran di internal Polri maupun di Densus 88 anti-teror atas aksi penguntitan dan konvoi anggota polisi bersenjata lengkap.
"Karena yang ditangkap Paminal Mabes Polri adalah anggota Densus 88, maka harus dilacak apakah yang bersangkutan bergerak sendiri, atau ada perintah perwira yang pangkatnya lebih tinggi, baik di internal Densus 88 antiteror sendiri atau dari satuan lain," kata Kurniawan Adi saat diminta tanggapannya lewat pesan singkat di Jakarta, Jumat (24/5/2024).
Selain itu, kata Kurniawan, perwira tinggi polri yang memerintahkan anggota densus 88 melakukan penguntitan terhadap Jampidsus Kejagung, ada kaitan dengan perkara korupsi pertambangan timah ilegal yang kini telah menjerat 21 tersangka. Oleh karena itu, harus dilakukan penelurusan investigasi di internal Polri dan Kejagung.
"Dan apa perannya dalam kasus tipikor tambang," ucapnya.
Menurutnya, seharusnya Polri sebagai penegak hukum bisa berkomunikasi secara baik-baik dengan Kejaksaan Agung dan jaksa penuntut umum dalam sebuah perkara.
"Sampai kapanpun Polri sebagai penyidik perkara pidana wajib berkomunikasi dengan jaksa sebagai penuntutnya," tuturnya.
Kendati demikian, Kurniawan belum mengetahui bahwa penyidikan perkara tindak pidana korupsi pertambangan timah ilegal menjadi pemicu konflik antara Polri dengan Kejagung.
"Saya tidak melihat ini jadi pemicu konflik antara Polri dengan kejaksaan," jelasnya.
"Saya melihat ini hanya kerjaan oknum yang nyari recehan," sambungnya.
Juru Bicara Densus 88, Kombes Pol Aswin Siregar belum merespons panggilan dan belum menjawab pesan WhatsApp hingga berita ini ditulis.
Untuk diketahui, tim jaksa penyidik pidsus Kejagung tengah melakukan penyidikan dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk periode 2015 sampai 2022.
Total sudah ada 21 tersangka dalam kasus korupsi pertambangan timah ilegal, dan enam diantaranya dijerat pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Mereka adalah Direktur Utama PT Sariwiguna Bina Sentosa, Robert Indarto (RI), Manager PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim (HL) dan perpanjangan tangan dari PT Refined Bangka Tin (RBT) Harvey Moeis.
Kemudian, Sugito Gunawan (SG) selaku Komisaris PT Stanindo Inti Perkasa, pemilik manfaat atau benefit official ownership CV Venus Inti Perkasa Tamron alias Aon (TN) dan Dirut PT RBT, Suparta.
Selain itu, penyidik telah memblokir 66 rekening dan menyita 187 bidang tanah dan bangunan dalam perkara dugaan korupsi pertambangan timah ilegal.
Kejagung juga telah menyita aset berupa enam smelter di Kepulauan Bangka Belitung, dengan total luas bidang tanah 238.848 meter persegi, serta satu Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Kota Tangerang Selatan, Banten.