Seorang Warga Negara Bangladesh berinisial HR ditangkap Kantor Imigrasi Kelas I TPI Surabaya. Pria itu diduga terlibat penyelundupan manusia ke Australia. Sebelumnya, HR telah masuk pencarian daftar orang (DPO) Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Australia Federal Police (AFP) pada Rabu 8 Mei 2024.
HR awalnya dilaporkan oleh istrinya (S) yang merupakan Warga Negara Indonesia (WNI). Kala itu, diketahui S diketahui mengaku bahwa suaminya meninggalkan rumah dan tidak ada keberadaannya.
Istrinya juga menyampaikan bahwa HR terlibat dalam kegiatan ilegal mendatangkan WNA dari Bangladesh dan Pakistan untuk diberangkatkan ke Australia, tutur Kepala Kantor Imigrasi Kelas I TPI Surabaya, Ramdhani kepada awak media di Surabaya, Jumat 17 Mei 2024.
Ramdhani menjelaskan Kedutaan Besar Bangladesh juga mengonfirmasi bahwa HR memiliki rekam jejak kasus penyelundupan manusia . Atas laporan tersebut, petugas lalu bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memancing HR agar keluar dari persembunyiannya pada Januari hingga Maret 2024.
Petugas Imigrasi juga memanggil seseorang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang diketahui membantu HR dalam memproses layanan keimigrasian untuknya. Petugas bertanya mendatangkan HR dengan alasan menyelesaikan layanan keimigrasian pada 8 Mei 2024.
“Saat itu HR tiba di Kantor Imigrasi Surabaya dan kami segera mengamankannya. Saat petugas melakukan pengecekan di persembunyian HR, kami juga menemukan warga negara Bangladesh lain,” ucap Ramdhani.
Dari hasil pemeriksaan, petugas menemukan 1 WNA Bangladesh di tempat persembunyian HR. Setelah itu, petugas imigrasi Surabaya melimpahkan HR ke Polda NTT. “Karena HR merupakan tindak terduga tindak kriminal penyelundupan manusia DPO Polda NTT,” papar Ramdhani.
Sementara itu, Wakapolda NTT Brigjen Awi Setiyono mengatakan bahwa HR dan komplotannya menggunakan modus memasang iklan di aplikasi TikTok dengan menawarkan pekerjaan di Australia untuk menjerat korbannya. Salah satu korban WN India dimintai uang sejumlah 2.000 Dollar Australia. Sementara itu, 3 orang korban WN Bangladesh dan 1 orang WN Myanmar dimintai uang sejumlah 30.000 Ringgit Malaysia.
“Mereka melanggar Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP. Pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 tahun. Denda paling sedikit Rp 500 juta dan paling banyak Rp 1,5 miliar,” ujar Awi lewat keterangan yang diterima Tempo, Jumat.