Anggota Komisi VII DPR Mulyanto mempertanyakan keamanan pabrik smelter nikel PT Kalimantan Ferro Industry atau PT KFI di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang meledak pada Kamis dan Jumat, 16-17 Mei 2024. Ledakan pertama memicu keretakan rumah warga. Berdasarkan pengakuan salah seorang warga, retakan bisa terjadi lantaran jarak pagar pabrik ke area permukiman warga hanya sejauh 21 meter. "Masak jaraknya ke permukiman hanya 21 meter. Ini sangat berisiko. Kok, bisa mendapat izin?" ujar Mulyanto kepada Tempo, Sabtu, 18 Mei 2024.
Mulyato mendesak pemerintah memastikan izin usaha industri smelter yang diberikan ke perusahaan memenuhi syarat keamanan dan keselamatan, baik untuk karyawan maupun masyarakat. Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu juga meminta pemerintah mengaudit seluruh smelter dan mengevaluasi tata kelola industri ini.
"Termasuk evaluasi jarak bangunan smelter ke permukiman penduduk," kata Mulyanto. "Pemerintah jangan sekadar memudahkan investasi," tambahnya.
Mulyanto menilai ledakan di pabrik smelter nikel masih terjadi karena pemerintah lamban mengaudit smelter nikel, yang sebagian besar dimiliki perusahaan Cina. Padahal, sudah terjadi sejumlah insiden yang memakan banyak korban, sebagian besar para pekerja di fasilitas pengolahan hasil tambang.
Sebagai contoh, kebakaran smelter nikel milik PT Gunbuster Nickel Industries (GNI) yang menghanguskan dua pekerja. Kemudian, insiden ledakan maut tungku smelter milik PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) di Morowali yang merenggut nyawa 21 pekerja. "Pemerintah harusnya tidak ragu mencabut izin smelter yang terbukti mbalelo (membangkang)," kata Mulyanto.
Diberitakan sebelumnya, ledakan pertama di pabrik smelter nikel PT KFI terjadi pada Kamis, 16 Mei 2024, skeitar pukul 18.45 WITA. Sementara ledakan kedua terjadi pada Jumat, 17 Mei 2024, sekitar pukul 23.45 WITA. Marjianto, salah satu warga Kelurahan Pendingin yang tinggal di dekat area PT KFI mengatakan pagar pabrik dengan rumah warga hanya berjarak 21 meter.
Ia berujar, ledakan pertama menyebabkan rumah warga retak. Dari video pendek yang diterima Tempo, sejumlah retakan tampak di dinding dan lantai. Ada juga keretakan yang terjadi pada kaca jendela. "Di sini masih banyak rumah kayu. Hanya ada beberapa yang rumah tembok dan semuanya mengalami keretakan," kata Marjianto, Sabtu, 18 Mei 2024.
Jumlah rumah yang retak di RT 13 tempat Marjianto tinggal, tercatat sekitar 20 unit. Namun, ia menduga jumlah seluruhnya yang terdampak jauh lebih banyak karena abrik smelter nikel PT KFI dikeliling 8 RT.
Merespons hal tersebut, Owner Representative PT KFI M. Ardhi Soemargo memastikan PT KFI akan bertanggung jawab. Ia berujar, perusahaan akan menurunkan tim investigasi untuk mengecek kondisi warga terdampak ledakan. "Jika memang (ada kerusakan) karena indisen tersebut, sudah barang tentu akan bertanggungjawab," kata Ardhi melalui aplikasi perpesanan kepada Tempo, Sabtu, 18 Mei 2024.
Proyek pembangunan pabrik smelter nikel PT KFI telah menuai kontroversi. Laporan Tempo berjudul "Serampangan Proyek Pelebur Nikel Kutai Kartanegara" yang terbit pada 30 November 2023 lalu menyebutkan pembangunan smelter PT KFI diduga tanpa analisis mengenai dampak lingkungan atau Amdal. Hal ini kemudian dibenarkan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kalimantan Timur Rafiddin Rizal yang menyebut Amdal PT KFI saat itu masih dalam proses dan menunggu surat kelayakan untuk diterbitkan.
Sementara itu, Ardhi mengklaim perusahaannya telah mengantongi izin untuk membangun industri kertas pada 1996 di area yang kini dikelola PT KFI. Pihaknya berasumsi masyarakat sudah mengetahui keberadaan industri di area tersebut. Apalagi area itu sudah dipatok meski akhirnya menganggur selama 29 tahun.
“(Soal) Amdal, kami lakukan Amdal perubahan dengan nama KFI. Posisi sudah diterima tanpa terkecuali,” ujar Ardhi ketika ditemui di salah satu kedai kopi di Samarinda pada 24 Agustus 2023. Pada waktu itu, pihaknya sedang menunggu SKKL (surat keputusan kelayakan lingkungan) dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.